Percayalah, Aku Tidak Benci Influencer!

Gambar oleh : Steve Gale on Unsplash

Cangkeman.net - Di jaman media sosial ini, kerja-kerja yang berkaitan dengan endorse mengendorse sangat laku dan laris manis. Anak-anak berlomba-lomba dan bercita-cita ingin menjadi youtuber, selebgram, atau apalah itu namanya.

Sebenarnya, apapun namanya entah itu, influencer, buzzer, atau pendengung, inti kerjanya adalah kegiatan marketing. Intinya kamu memasarkan suatu produk atau jasa agar produk tersebut laku. Tentu saja, bidang keilmuan yang paling tepat yah bidang keilmuan marketing. Dan karena ini sifatnya di media sosial, tentu saja kita juga harus belajar tentang media sosial itu sendiri. Jadilah kita belajar yang disebut dengan Digital Marketing.

Tapi, ngeheknya. Ketika banyak orang belajar dengan tekun dan kadang menerapkan petuah-petuah digital marketing seperti yang dituliskan pada artikel sebelumnya, hingga terkadang ada yang keluar modal cukup banyak, baik itu berupa materi, waktu, serta tenaga. Eh segala usahanya dikalahkan oleh Influencer-Influencer jancuk yang mengandalkan kontroversi, jual belahan, hingga drama-drama sosmed yang ga jelas.

Influencer-infkuencer yang kerjanya cuma upload feed Instagram dengan waktu kurang satu jam ini bahkan bayarannya bisa lebih tinggi dan jauh lebih tinggi dari Influencer yang benar-benar belajar tekhnik marketing dengan sungguh-sungguh. Kalau kaya begini, di mana keadilan?

Ini baru dibandingkan antar Influencer. Bagaimana dengan pekerja produksi? Berapa banyak mereka digaji? Bagaimana nasib kesejahteraanya? Padahal, tanpa pekerja produksi, apa yang bisa dipasarkan oleh para Influencer itu?

Oke, mungkin ada beberapa Influencer 'jual belahan' yang karena pekerjaanya itu dia dapat merekrut pekerja dan memberi gaji kepada lainnya. Tapi seberapa banyak yang menggaji dengan adil? Bagaimana sistem pembagiannya? Apakah sesuai antara penghasilan, proses produksi, dan pendapatanya? Kita bisa perdebatkan tentang hal ini.

Para pekerja produksi yang kadang bekerja hingga overtime, menanggung resiko di jalan, hingga kecelakaan kerja yang lebih tinggi kok bisa-bisanya hanya dibayar seadanya? Apakah jika produksi terhenti, para influencer itu tetap bisa menghasilkan pundi-pundi cuan?

Percayalah, aku tidak benci Influencer. Seperti yang aku tulis di atas. Kalau kamu mau jadi Influencer silakan belajar tentang ilmu itu, belajar tekhnik marketing, belajar copywriting, belajar desain gambar atau video, bikin personal branding yang bagus. Bukan serta merta muncul karena kontroversial atau jualan drama dan belahan.

Tapi sebenarnya, inti dari tulisan ini enggak aku tujukan ke influencer drama-drama telek tadi. Karena tanpa peminat dan penyuka konten-konten mereka, yah mereka enggak bakal laku, mana ada perusahaan atau pemilik produk mau melirik mereka. Jadi kuncinya yah lagi-lagi ada pada konsumen. Mau enggak kita sebagai konsumen menaikkan derajatnya. Bagaimanapun, konsumen adalah penggerak utama pasar. Kalau konsumennya aja masih doyan 'paha dan dada' yah jangan bingung kalau banyak jual 'paha dan dada'.

Kita harus merubah sistem yang telah berjalan dengan cara merubah cara pandang kita. Caranya? Cukup jadi objektif. Objektiflah menilai sesuatu. Kita mengikuti Influencer yang benar-benar menjual bakatnya, menjual jualannya. Kita juga harus adil kepada buruh-buruh penggerak produksi. Lihat apa yang mereka kerjakan, bukan melihat seberapa banyak yang bisa mereka jual. Karena jualan tentu tugasnya marketing atau Influencer. Kalau mau menilai pekerja produksi yah nilai barang yang telah diproduksi. Kalau bagus yah jangan segan buat kasih gaji tinggi.

Tapi susah juga sih kalau kita masih selalu berpikir dangkal dan bahkan kadang tulisan begini dibilang iri dan selalu dibilang "Lu bisa gak kaya dia? Balas dengan karya dong!" 

Halah... Cangkeman!!

Karya apa yang dibalas kalau ga ada karyanya, cuk..cuk...