Bocoran Dari "Orang Dalem" Facebook
![]() |
Gambar : Kompas Tekno |
Kamu sendiri berapa lama main Instagram dalam sehari? Kamu bisa cek di profile - lalu klik ikon garis tiga di pojok atas - Aktifitas Anda.
Pertanyaannya apakah bakal ada dampak negatif kalau kita terlalu lama tenggelam dalam kemesraan candu sosial media?
Jadi belum lama ini ada whistleblower, salah satu karyawan Facebook membeberkan sebuah fakta internal Facebook, di mana isinya adalah reportase terhadap mental health gadis remaja, apakah Instagram ini toxic atau tidak. Publikasi tentang "the facebook files" ini dipublikasikan Wallstreet Journal, gara-gara hal ini, Instagram melakukan pengunduran project Instagram kids. Tapi itu asumsiku aja sih, bisa aja diundur karena sistemnya belum siap, perizinan yang belum dapat stempel basah dari pemda, atau bahkan belum nemu hari yang cocok sesuai weton pemiliknya.
Jadi untuk dampak negatif, akan selalu ada, dan yang pasti sesuatu yang dikonsumsi terlalu banyak akan membuat manusia "mabuk", apalagi dalam hal ini adalah media sosial yang dikonsumsi oleh anak di bawah umur. Banyak publikasi yang sudah membahas hal ini, tapi yang akan aku ceritakan adalah gimana jawaban dari orang Instagram atas berita atau publikasi yang mengarah pada mereka.
Facebook Instagram Chief, Adam Mosseri merespon dengan menganalogikan mobil. Di mana ketika mobil diciptakan, angka kecelakan di jalan raya meningkat, bahaya emisi karbon, dll. Kemudian orang-orang merespon balik. Kalo misal beneran mau pake analogi mobil, penggunanya butuh safety tool misal seat belt, airbag, wajib mempunyai lisensi, ada badan terpisah yang menvalidasi tiap pengguna mobil. Intinya kalau mau pakai analogi mobil ya harus ada equivalen yang disamakan antara pengguna mobil dan instagram.
Mungkin di awal-awal kita menggunakannya biasa-biasa aja, kita merasa sedang membuang stres atau mencari ide, sekadar untuk penyegaran pikiran seperti merokok, misal. Tapi karena enak dan nagih, efek dopaminnya mulai terasa dalam jangka panjang. Merasa kurang kalau belum scrolling, merasa mati gaya, tidak dapat ide, dan lain sebagainya, pun mirip dengan rokok bagi sebagian orang.
Banyak media yang kemudian menyerang Facebook secara keseluruhan ataupun salah satu kroconya, misal Instagram ataupun Whatsapp. Bahkan di Amerika sana, facebook didorong untuk melakukan editorial tiap konten dalam platformnya. Ini pilihan berat buat Facebook. Kalau mereka melakukan editorial, berarti akan ada banyak pembatasan, konten tidak sebebas konten kreator, harus difilter dan melalui proses kurasi, lah kok kayak Cangkeman?
Facebook jelas enggak mau. Toh mereka ada di level face (muka), mosok harus downgrade ke level cangkem (mulut). Karena facebook masih kekeuh bahwa mereka ini platform, setiap konten dalam kendali masing-masing publisher, yang pencet post adalah si pemilik akun, bukan kurator Facebook.
Nah isi dari beranda masing-masing pengguna ini akan berbeda, karena Facebook sudah mempunyai "rewang" yang nama kerennya algoritma itu loh. Isi beranda pengguna akan sangat berkorelasi dengan kebiasaannya, Facebook (atau instagram) enggak memaksa pengguna buat melihat suatu konten, pengguna sendiri yang mengajari algoritma untuk mengenalinya, misal sering nonton konten toxic, konten dewasa, atau apapun, algoritma akan mengenali pengguna itu sesuai kebiasaannya dan menyajikan konten selanjutnya sesuai yang ia anggap "disukai oleh pengguna".
Nah kalau pembahasannya kita kembalikan lagi ke pertanyaan awal, apakah ada dampak negatifnya? Lalu kalau jawabannya adalah kembali lagi ke masing-masing pengguna, bagaimana dengan pengguna yang belum bisa mengendalikan dirinya?
Limitasi ke anak-anak di bawah umur udah jadi sesuatu yang wajib, melihat situasi di mana banyak sekali anak yang akhirnya kecanduan di depan layar gadget. Ia akan terus merengek untuk minta gadget, salah siapa? anak? enggak dong.
Sebenarnya bukan cuma terjadi di anak, banyak rkeator lainnya yang sudah di atas umur, atau udah jadi dewasa, punya kesulitan untuk mengendalikan dirinya dalam bersosial media, banyak yang merasa tidak ingin merasa ketinggalan sesuatu di media sosial, apalagi yang sudah terlanjur tenggelam, atau yang memang pekerjaannya bermain media sosial.
Influencer misal, jangan dipandang bahwa hidup mereka penuh dengan kesenangan dengan uang yang terus berdatangan cuma dari endorsement. Coba kita lihat dibaliknya.
Jadi influencer beda dengan bisnis lainnya, misal kita bikin bisnis akan ada organisasinya, enggak sendirian, dan posisinya bisa diganti orang lain. Nah Influencer enggak bisa gitu, kita adalah ujung tombak itu sendiri. Walaupun ada tim di balik itu, banyak kerjaan yang didelegasikan ke orang lain, tapi brand image seorang influencer itu ya dirinya sendiri, enggak bisa diganti ke orang lain, yang muncul ya harus di Influencer itu, enggak bisa diganti dengan tukang riasnya misal, dan enggak ada pilihan break dari kerjaan untuk dihandle orang lain. Jadi beban mental yang harus dibawa Influencer ini nggak gampang juga.
Jadi dampak Instagram itu nyata adanya, untuk yang menjadikannya penghasilanpun, memainkan media sosial dalam waktu yang lama akan melelahkan mental, apalagi kepada anak-anak.
Tapi, kembali lagi kepada kebutuhan manusia, ia butuh bersosial, butuh curhat, butuh melampiaskan kondisi emosional. Di situlah Instagram dan Facebook mendapatkan ruang.
Tapi kalo kamu hanya curhat dan misuh di sana, who care about you, dude?
Mulai sekarang tinggalkan media sosial buatan kafir yahudi Facebook, misuh di Cangkeman aja, seenggaknya ada mimin yang membalas curhatan dan misuhanmu.
Walaupun balesannya cuma "Terima kasih telah mengirimkan karyanya di Cangkeman. Semuanya sudah kami terima tanpa kurang suatu apapun."
Terus lanjutannya
"Namun kami memohon maaf untuk karya kali ini belum bisa dimuat di Cangkeman."

Posting Komentar