Jenang Sengkolo: Bubur Merah Putih yang Punya Makna Mendalam
![]() |
nusabudaya.com |
Cangkeman.net - Jenang seringkali menjadi salah satu sajian dalam acara tradisi Jawa. Jenis jenang yang disajikan dapat bermacam-macam, sesuai dengan jenis acara yang diadakan, karena setiap jenis jenang memiliki filosofi dan maksud masing-masing. Salah satu jenis jenang yang memiliki nilai penting dan hampir selalu ada dalam setiap hajat budaya Jawa adalah jenang sengkolo. Sajian jenang jenis ini dapat dijumpai hampir di sebagian besar acara sakral atau selamatan adat Jawa. Beberapa di antaranya adalah acara pernikahan, ritual mendirikan rumah atau bangunan, selamatan bayi yang baru lahir, hingga acara wetonan atau perayaan untuk memperingati hari lahir menurut kalender Jawa.
Jenang sengkolo sendiri terdiri dari dua macam jenang, yakni jenang abang (merah) dan jenang putih. Bahan dasar untuk membuat bubur jenang sengkolo sangat sederhana, yaitu terdiri dari beras, santan, dan gula jawa. Untuk jenang abang diberi tambahan gula Jawa (gula abang atau gula merah). Oleh sebab inilah dinamakan jenang abang, meskipun sebenarnya jenang abang tidak benar-benar berwarna merah, melainkan berwarna coklat. Sedangkan untuk jenang putih tidak diberi tambahan apapun. Oh iya, meskipun jenang sengkolo hanya terdiri dari jenang abang dan jenang putih, tetapi makanan ini memiliki empat bentuk varian dalam penyajiannya. Pertama adalah jenang abang atau bisa juga disebut jenang retha. Yang kedua ialah jenang putih atau yang memiliki nama lain jenang setha. Selanjutnya adalah jenang sengkolo itu sendiri, yang terdiri dari jenang abang dengan diberi tambahan sedikit jenang putih di tengahnya. Yang terakhir adalah jenang sepuh, yakni terdiri dari separuh jenang abang dan separuh jenang putih dalam satu wadah. Sayangnya, penyajian jenang sengkolo dengan variasi lengkap semacam ini sudah sangat jarang dijumpai di masa sekarang.
Berbicara mengenai makna dari jenang sengkolo, istilah sengkolo itu sendiri berasal dari kata morwakala yang artinya menghilangkan balak (kesialan). Dalam hajat masyarakat Jawa, jenang sengkolo memang secara khusus dihadirkan dengan tujuan untuk menolak balak alias membuang kesialan. Lebih lanjut lagi, jenang sengkolo juga menyimpan filosofi yang begitu mendalam. Bentuk jenang sengkolo yang berupa bubur melambangkan asal mula manusia, yakni berasal dari sperma dan indung telur. Jenang abang sebagai gambaran sosok ibu, sedangkan jenang putih sebagai gambaran sosok ayah. Ini menunjukkan bahwa jenang sengkolo menjadi simbol kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peran kedua orang tua. Selanjutnya, jenang sepuh yang merupakan bagian dari jenang sengkolo ditujukan untuk ‘ngaweruhi gusti’ yakni sebagai wujud syukur pada Tuhan atas kekayaan alam yang telah disediakan-Nya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Jenang sepuh juga bermakna sebagai bentuk permohonan maaf manusia kepada alam, atas segala tindakan manusia yang bersifat merusak.
Di era milenial ini, mungkin, banyak dari kita yang menganggap jenang sengkolo sudah kuno dan tidak lagi penting. Namun bagi masyarakat Jawa, tradisi membagikan bubur sengkolo setiap hari lahir atau wetonan merupakan keharusan. Sisi baiknya, jenang sengkolo ini dapat dijadikan sebagai sarana berbagi dan mempererat silaturahmi antar tetangga dan saudara. Jadi tidak ada ruginya kita mempertahankan keberadaan jenang sengkolo sebagai salah satu cara nguri-uri kabudayan, karena tradisi tersebut membawa kebaikan dan memberi nilai lebih bagi kehidupan kita sebagai manusia.
Nurul Fatin Sazanah
Hobi menghayal, mengambbar, dan menulis.

Posting Komentar