Ini Harapan Untuk Ramadan Berikutnya
2
![]() |
Jose Aragones on Pexels |
Cangkeman.net - Kalau saja kesabaran itu bisa jadi duit, saya pasti sudah kaya. Tentunya bukan kaya mendadak, karena kesabaran yang sudah saya lewati dan masih berlangsung hingga saat ini ada dalam kurun waktu delapan tahun. Bayangkan, Itu bukanlah masa yang sebentar untuk sebuah kesabaran.
Begini awalnya, saya menikah delapan tahun yang lalu (usia ketika menikah saya rahasiakan). Komitmen setelah menikah dengan istri adalah mengurus ibu dari istri saya, atau ibu mertua saya yang akan menjadi nenek dari anak kami. Hal itu karena istri merupakan anak bungsu, sementara saudara yang lain sudah menikah dan berumah tangga mengikuti suami-suami mereka (kebetulan seluruh anak mertua adalah perempuan semua).
Tapi ternyata tak semudah yang dibayangkan. Tidak, bukan karena ada perumpamaan tinggal dengan mertua sama seperti tinggal dalam neraka tanpa api, bukan itu! Ibu mertua saya sangat baik sekali. Neraka tanpa api itu datang dalam bentuk lain, yakni dalam bentuk polusi suara dari sekitar rumah kami.
Rumah kami (baca-rumah mertua) diapit oleh dua fasilitas umum, yaitu masjid dan pondok pengajian yang sama-sama memasang pengeras suara sebagai sarana pendukung operasional kegiatan dua tempat sakral tersebut. Hari-hari biasa pengeras suara tersebut tidak terasa menggangu karena masih dalam batas kewajaran. Masjid dengan panggilan adzan dan saya juga selalu memenuhi panggilan tersebut dengan berjamaah di masjid tersebut. Juga pondok pengajian yang diramaikan oleh suara-suara bocil yang belajar mengaji dan bersholawat dengan menggunakan pengeras suara dengan durasi waktu yang wajar.
Tetapi semua itu berubah setiap tahun memasuki bulan Ramadhan. Selama satu bulan penuh telinga saya akan sangat terganggu oleh suara-suara yang berasal dari toa masjid di luar waktu adzan dikumandangkan. Juga teriakan dari pondok pengajian, ditambah suara para bocil dan anak-anak usia tanggung yang berkeliling menabuh apa saja yang bisa mereka tabuh dengan dalih untuk membangunkan sahur. Berikut cerita detailnya.
Setiap dini hari pukul 02:00, akan ada teriakan dari masjid untuk membangunkan sahur. Ingin rasanya saya memberitahu kepada orang yang membangunkan sahur melalui speaker masjid itu bahwa saya punya android buatan China yang ada fitur alarmnya, dan itu sudah cukup, tak perlu ditambah dengan teriakan absurd dari toa masjid lagi, (cara membangunkan memang dipaksakan sekonyol dan selucu mungkin). Lagipula, persiapan sahur kita semua kebanyakan sudah simpel, tak perlu dipersiapkan beberapa jam sebelum menjelang sahur, 30 menit sebelum makan sahur itu sudah cukup karena hanya tinggal menghangatkan saja.
Dan keluhan saya tentang cara membangunkan sahur tidak selesai sampai di sini, setelah speaker masjid dengan teriakan absurd yang dibuat-buat itu menyiksa semena-mena, maka akan ada bocil dan pemuda-pemuda tanggung yang menabuh aneka barang apa saja yang bisa menimbulkan suara berkeliling, entah bertujuan membangunkan sahur atau memang mereka kurang kerjaan. Jika bocil dan pemuda tanggung bersatu, maka kelar hidup, lo.
Hal ini tentu saja sangat mengganggu bagi saya karena mereka start di halaman masjid dengan menabuh berbagai benda selama kurang lebih dua puluh menit sebagai pemanasan sebelum mulai berkeliling, dan itu artinya mereka mengirim suara bising yang entah berapa desibel. Yang jelas melebihi kapasitas untuk bisa ditampung oleh telinga manusia. Yang lebih membuat dongkol bin kesal lagi, Ketika Ramadhan usai, para anak tanggung ini akan meminta jatah THR kepada warga karena merasa telah berjasa dalam hal keberlangsungan membangunkan seluruh warga untuk sahur.
Pondok pengajian, jangan ditanya! Setiap memasuki Ramadhan, mereka akan libur satu bulan penuh. Tetapi mereka, bocah-bocah yang belajar di sana, tetap memiliki akses ke dalam pondok tersebut dan bebas menggunakan fasilitas yang ada. Perlu saya ingatkan, akses mereka adalah no limit, tanpa syarat dan ketentuan berlaku layaknya kartu provider yang sedang promosi. Pengeras suara mereka mainkan tengah hari, alat musik tabuh mereka tabuh tanpa aturan, dan itu semua tanpa kontrol dari para pengajarnya.
Bocah-bocah itu jadi seperti bebek yang dilepas ke air, bersenang-senang tanpa peduli keadaan sekitarnya. Kemudian ini semua semakin menjadi masalah yang sangat pelik ketika saya memiliki balita. Saya pernah berkomunikasi dengan ketua RT bahkan ketua RW, tetapi mereka selalu mengatakan bahwa ini hanya satu tahun sekali dan sulit untuk dihilangkan. (perlu diketahui, rumah ketua RT dan ketua RW tersebut jaraknya jauh dari masjid)
Suara adzan adalah suara yang mendamaikan, tetapi suara-suara iseng yang dibuat-buat tanpa tujuan, jelas sangatlah meresahkan. Itu sebabnya ketika Menteri Agama membuat peraturan untuk membatasi suara dari toa masjid, saya merasa solusi dari masalah saya telah datang. Menurut saya, pak menteri tidak bermaksud mendzalimi umat Islam ketika membuat peraturan tersebut, tetapi memberikan solusi bagi saya atau orang-orang yang permasalahannya sama seperti saya. Mereka yang mengecam keputusan itu adalah orang-orang yang tidak merasakan bagaimana rasanya seperti saya dan keluarga. Tidak merasakan bagaimana rasanya punya balita sakit tetapi lingkungan sekitar tak peduli dengan mengatasnamakan tradisi.
Harapan saya pada Ramadhan nanti adalah, semoga aturan tentang pengeras suara yang tercantum dalam Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 bisa segera diterapkan, terutama di lingkungan rumah saya karena masing-masing telinga memiliki porsi yang berbeda-beda dalam menampung suara.
