Kepada Ibu Mega dan Para Calon Mertua, Jangan Memberi Standar Rumit dan Sulit Untuk Calon Menantu
![]() |
Sindonews |
Cangkeman.net - Ibu Megawati kembali viral, setelah sebelumnya viral karena pernyataan kontroversi tentang minyak goreng, kini penyebabnya adalah karena video dirinya yang sedang pidato di depan jajaran kader PDIP dalam sebuah rapat bahwa beliau pernah mewanti-wanti mbak Puan, anaknya, agar jangan sampai mendapat suami yang seperti tukang bakso. Isi wejangan tersebut ramai di alam nyata maupun alam maya yang diisi oleh para warganet.
Saya yang pernah menjalani profesi sebagai tukang bakso di sebuah kampus sekitaran Jagakarsa, kawasan Jakarta Selatan sana, sempat tersinggung juga, namun akhirnya harus mawas diri karena memang pada kenyataannya jarang sekali ada orang yang mau bersanding dan menjalani hidup dengan yang menjalani profesi ini, terlebih lagi jika masih dalam tahap perintisan atau belum meraih kesuksesan. Sebagai tambahan cerita pengalaman selama saya menjadi tukang bakso, tak satupun mahasiswi-mahasiswi cantik di kampus tempat saya jualan tersebut ada yang mau naksir kepada saya. Padahal dari sisi tampang, saya merasa tidak ganteng-ganteng amat (ya iyalah, siapa yang mau?).
Profesi tukang bakso dan sejenisnya semisal petani, peternak, pedagang kaki lima dan juga lainnya memang bukan profesi impian para calon mertua, (meski saya juga meyakini tidak semua calon mertua seperti itu). Bahkan saya yakin, mereka yang berprofesi tukang bakso, petani, peternak sekalipun jarang ada yang berharap mendapatkan calon menantu dengan profesi yang sama dengan mereka. Mereka pasti ingin ada perubahan pada silsilah profesi yang sudah mereka jalani.
Diakui atau tidak, ada banyak calon mertua yang mirip dengan Ibu Megawati. Meski tingkat standar calon menantu tergantung dari status sosial si calon mertua itu sendiri, tetapi inilah pola pikir dan cara pandang yang berkembang di tengah masyarakat kita. Banyak yang beranggapan bahwa mendapat gaji bulanan yang tetap serta seragam yang rapi adalah sebuah tahta status sosial di mata masyarakat. Bahkan banyak yang memilih menjadi pegawai honorer di sebuah kantor dinas pemerintahan hingga belasan tahun dengan gaji 150 ribu perbulan demi mendapatkan pengangkatan status menjadi PNS. Tak jarang mengorbankan sepetak atau dua petak sawah warisan untuk bisa masuk kerja di lingkungan dinas pemerintahan.
Masih ingat dengan kampung yang viral dengan nama Kampung Milyarder? Sebuah kampung di Desa Sumur Geneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Mereka menjadi kaya mendadak dengan mendapatkan kompensasi yang sangat tinggi untuk tanah yang selama ini sebenarnya menjadi penghidupan mereka dengan cara bertani maupun beternak. Ketika uang kompensasi itu mereka dapatkan, mereka langsung belanja jor-joran membeli apa yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, mobil mewah dan lain sebagainya. Bahkan banyak yang tidak bisa menyetir mobil membeli barang mewah tersebut.
Salah satu alasan kenapa mereka mau menjual aset yang mereka miliki adalah karena mereka dijanjikan kelak akan bekerja di perusahaan yang telah membeli tanah mereka itu. Bayangkan, mereka siap menjadi kuli di tanah yang tadinya milik mereka sendiri, karena berpikir bekerja lebih ada rasa nyaman secara finansial atau merasa naik secara kasta sosial karena akan bekerja pada sebuah perusahaan besar tentunya dengan fasilitas yang akan mereka dapatkan pastinya adalah gaji bulanan dan juga seragam dari perusahaan ketimbang berkotor-kotor ria bermain tanah dengan bertani atau beternak di tanah sendiri.
Bertumbuh dan berkembangnya pola pandang masyarakat terhadap apa yang disebut profesi impian memang tidak terlepas dari apa yang ditanamkan sejak kecil kepada kita. ini seperti sudah menjadi doktrin terhadap kita sejak usia dini. Ketika di sekolah dasar dahulu tak pernah ada ibu atau bapak guru yang mengarahkan cita-cita kepada murid untuk menjadi tukang bakso, petani, peternak dan profesi-profesi lainnya yang tidak memiliki gaji bulanan ataupun kantor sebagai tempat bekerja, tetapi justru lebih diarahkan pada cita-cita menjadi dokter, tentara, polisi, pegawai bank dan lain sebagainya yang dianggap lebih memiliki prestise dalam kelas sosial masyarakat.
Saya belum pernah mendengar seorang guru menyuruh murid untuk rajin belajar agar bisa menjadi petani, raih ijazah agar bisa ngangon kerbau ketika besar nanti. Seolah-olah konotasi sukses adalah bekerja pada perusahaan ternama ataupun dinas pemerintahan. Tetapi jika menjadi tukang bakso, belum bisa dikatakan sukses meski sudah berhasil menghidupi keluarga bahkan bisa mempekerjakan orang sebagai karyawan.
Itulah sebabnya banyak cerita-cerita tentang gagalnya rencana pernikahan karena standarisasi dari calon mertua terkadang sangat tinggi dan rumit, meski memang tujuan dari calon mertua adalah untuk kebaikan anaknya agar ketika melewati masa-masa rumah tangga tidak sulit. Padahal semua itu bukanlah pegangan yang bisa dijadikan jaminan. Beruntung, mbak Puan tidak mendapatkan jodoh seperti apa yang dikhawatirkan oleh sang ibunda.
Jika memang itu harus terjadi pada Anda yang baru akan menikah, maka nasehat klasik untuk selalu sabar dan tawakal pasti akan sangat berguna, dan juga beri edukasi kepada ibu atau calon mertua bahwa perumpamaan dari warganet yang berbunyi “Harta dan tahta bukanlah segalanya, tapi dengan punya harta dan tahta kita bisa punya segalanya” adalah akrobat kata-kata yang tidak boleh dijadikan pegangan karena itu menyesatkan.

Posting Komentar