Membangun Paradigma Kritis Tentang Toleransi

Alezia Kozik on Pexels

Cangkeman.net - Toleransi seringkali dijadikan narasi untuk menyerang kelompok Islam tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip pluralisme. Meski kata toleransi berasal dari bahasa latin tolerare yang artinya menahan, tapi pada penggunaannya sering diambil dari serapan Bahasa Inggris tolerance yang artinya membiarkan. Toleransi menjadi pembahasan yang tidak ada habis-habisnya. Padahal sebenarnya dalam memahami toleransi itu cukup sederhana.

Toleransi yang digaungkan akhir-akhir ini seringkali salah dipersepsikan. Islam dianggapnya sebagai agama yang toleran. Padahal dalam Islam tidak ada yang namanya toleransi. Kelompok Islam yang menganut paham toleransi seringkali menggunakan ayat dari surat Al-Kafirun sebagai argumentasi bahwa Islam adalah agama toleran. Padahal itu keliru.

Sebelum menuju kepada pembahasan surat al-Kafirun, perlu dipahami bahwa Islam bukan agama toleransi melainkan agama dakwah. Para nabi dan Rasul diutus oleh Allah ke bumi untuk mendakwahkan ajaran agama Islam. Dakwah sendiri memiliki arti mengajak. Ajakan itu berupa menyembah kepada Allah dan berbuat kebaikan. Sedangkan toleransi berarti membiarkan. Salahnya adalah orang membiarkan tanpa dulu mendakwahkan. Padahal yang benar adalah dakwah dulu baru membiarkan. Sebagaimana firman Allah;

فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ ۗ وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ ۚ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ

“Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”

Perlu dipahami bahwa tugas umat Islam hanyalah mengajak (berdakwah), urusan dia mau masuk Islam atau tidak itu menjadi urusan Allah. Begitupun dengan konteks surat Al-Kafirun yang pada dasarnya adalah negosiasi elit kafir kepada Nabi Muhammad karena Nabi aktif mendakwahkan ajaran Islam ke penjuru kota Mekkah. Untuk menjawab negosiasi itu, Allah kemudian turunkan surat al-Kafirun yang inti dari pernyataan-Nya adalah uruslah agamamu dan ku urus agamaku.

Ketegasan aqidah Nabi Muhammad jelas di ayat itu. “Apabila kamu menyembah tuhan kami selama satu tahun, maka kami akan menyembah tuhan yang kamu sembah kurun waktu satu tahun,” kata elit Kafir. Namun apakah Nabi Muhammad menyetujui dan mencampuradukan urusan aqidah? Tentu tidak. Berbeda dengan sikap sekelompok muslim sekarang yang menjunjung toleransi yang berdampak pada pencampuradukan aqidah. Hal-hal seperti ibadah di gereja, ceramah di gereja, menyanyikan lagu natal diiringi musik islami di gereja adalah salah kaprah dalam memahami toleransi.

Tapi berbeda apabila dalam hal sosial kemasyarakatan. Seorang pemimpin politik muslim setidaknya harus memiliki pemahaman tentang toleransi dalam konteks menghargai di ruang publik. Setidaknya ada dua hal yang wajib dipahami.

Pertama, pernyataan sebagai ideological statement. Secara ideologis, Islam adalah agama yang benar. Kita wajib dengan lantang kepada umat Islam mengatakan bahwa Islam adalah agama yang benar. Karena itu adalah pernyataan langsung dari alquran.
 
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ
Sesungguhnya agama disisi Allah adalah Islam (ali-Imran : 19).

Dan sebagai muslim kita wajib mencari tahu dasar argumen kenapa Islam adalah agama yang benar. Argumentasi itu nantinya sebagai pondasi untuk hidup bermasyarakat di lingkungan yang multikultural.

Kedua, pernyataan sebagai political statement. Ucapan yang keluar dari seorang yang sedang berada di ruang publik multikultural mesti mengedepankan perbedaan dalam artian yang benar. Ketika sedang berpidato di hadapan non-Islam, tidak boleh keluar kata kata ideologis yang menyatakan Islam adalah agama benar dan yang lain salah. Karena itu bukan ruang untuk dakwah dalam artian mengajak. Seorang pemimpin politik diperkenankan mengucapkan selamat natal/imlek, mengahadirinya perayaannya apabila diundang dan mengucapkan hal-hal baik seperti mendoakannya. Karena sebagai pejabat publik, dia bukan hanya membawahi muslim tapi juga non-Islam.

Islam adalah agama yang menghargai perbedaan tentunya. Tapi itu bukan alasan untuk mencampuradukan kegiatan seputar aqidah/ibadah antar umat lintas agama. Banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai representasi dari masyarakat multikultural yang baik seperti gotong royong, kerja bakti, saling memberi hadiah, menghargai beribadah, bersilaturahmi, saling membantu, dll. Dengan begitu aqidah akan tetap terjaga pun dengan kerukunan umat beragama.

Alwi Husein Al-habib

Mahasiswa UIN Walisongo Semarang.