Apakah Kuliah Harus Rajin Isi Presensi?

Stanley Morales on Pexels

Cangkeman.net - Saya mungkin salah satu mahasiswa yang kurang disiplin dalam hal menaati peraturan kampus. Salah satu peraturan kampus yang tidak saya taati akhir-akhir ini adalah perkara absensi kehadiran kuliah yang mengatakan: Jika mahasiswa tidak hadir di mata kuliah X lebih dari 3 kali dalam satu semester, maka ia tidak lulus di mata kuliah tersebut. Peraturan yang ini memang sengaja saya langgar untuk membuktikan kebenarannya. Sebab, dari awal saya skeptis, kayaknya peraturan ini cuma akal-akalan doang deh, biar si mahasiswa itu benar-benar serius mencari ilmunya. Tetapi anggapan saya salah, ternyata peraturan itu benar-benar ada sebagai peraturan. Hiks…

Apakah saya menyesal, karena akhirnya harus mengulang mata kuliah itu? Tentu tak usah ditanya lagi. Tapi ada yang lebih menyesal daripada itu, yakni penalaran regulasi sekelas kampus ternyata tidak berorientasi pada esensi dari kampus itu sendiri. Kalau sependek pengetahuan saya, kampus itu kan, ruang yang menghasilkan kecerdasan berpikir; menuntut seorang generasi bangsa untuk berpikir kritis. Hla… kok, malah regulasinya tidak masuk akal dengan esensi itu. Mahasiswa malah secara tidak langsung disuruh untuk taat dengan kehadiran, bukan dengan pikiran. Wes ndak masuk blas…

Di samping skeptisisme saya di awal tentang regulasi absensi, juga saya menganggap regulasi itu jahat. Bagi saya jahat, karena malah bikin mahasiswa tidak lagi punya kesadaran otentik atas keberadaannya sebagai orang yang mencari ilmu. Mereka akhirnya terpaksa berangkat kuliah bukan dengan tujuan mencari ilmu, tapi karena di satu sisi agar nilainya bagus, pun di sisi yang lain agar lulus tepat waktu. Yah… bukan berarti saya menganggap tidak lulus tepat waktu adalah ihwal yang baik, tapi maksud saya kan, mengapa kampus yang esensinya untuk menghasilkan kecerdasan berpikir, malah mengedepankan kecerdasan untuk mengucapkan kata ‘hadir’.

Regulasinya memang tidak seutuhnya bikin tujuan mahasiswa melenceng. Tapi, kan, juga tidak menutup kemungkinan, kalau beberapa mahasiswa yang pola berpikirnya masih belum matang, malah memungkinkan tujuan otentiknya hilang. Lagian, apa ya tidak malu, sekelas kampus yang notabene berisi orang-orang pinter; berpengetahuan, tapi penalaran regulasinya kontradiktif dengan esensi keberadaan kampus?

Harusnya sebagai seorang akademisi di kampus itu tahu kan, kalau penalaran regulasinya sudah tidak lagi relevan. Masak ya nggak tahu, di usia seorang mahasiswa yang sudah waktunya dewasa, cara mendidiknya bukan lagi dengan aturan-aturan yang bersifat represif seperti anak SD, SMP, ataupun SMA. Ini bukan berarti saya si paling dewasa, tapi paling tidak, ada pertumbuhan pedagogi kepada anak yang pola berpikirnya sudah siap menuju kedewasaan. Kalau terus didoktrin dengan aturan-aturan pakem yang tidak logis, kapan mereka bisa berpikir tentang keberadaannya; kesadarannya sebagai manusia yang sudah seharusnya haus akan ilmu pengetahuan. Bukan saya sok tahu, sih, tapi coba dipikir dengan akal sehat.

Mengapa, sih, saya kurang menerima adanya regulasi absensi di perkuliahan? Jawabannya sederhana, yaitu tidak logis. Sekarang seorang mahasiswa itu kan, statusnya sebagai orang yang butuh akan pengetahuan. Nah, kebutuhan itu akan bisa terpenuhi dengan cara membayar sejumlah uang ke Universitas. Dari sini, harusnya kita bisa lihat penalarannya, bahwa perihal ‘kehadiran’, itu bukan urusan kampus. Karena dengan si mahasiswa ini memutuskan untuk membayar, artinya dia punya otonomi atas hadir atau tidaknya. Kampus hanya menyediakan tata cara bagaimana seorang mahasiswa itu dapat terpenuhi kebutuhannya dalam mencari ilmu pengetahuan.

Absensi itu cuma regulasi yang tujuannya untuk mengetahui kuantitas; mengetahui apakah seseorang ada kontribusi atas berjalannya suatu instansi. Keberadaan kampus saya pikir akan tetap ada walaupun mahasiswa tidak hadir. Sebab, mahasiswa hanya sebagai konsumen, bukan produsen. Yang perlu adanya absensi itu, ya, petugas yang ada di kampus, terutama sang dosen sebagai katalisator pengetahuan.

Tapi, okelah, kalaupun absensi ini dipaksa tetap ada untuk mahasiswa. Setidaknya pun, supaya ada semacam pengingat akan pertanggung jawaban etis untuk mahasiswa kalau dirinya terlampau sering menyia-nyiakan uang yang telah dikeluarkan. Namun, kalau soal penilaian atau kelulusan mata kuliah, mbok ya jangan diputuskan berdasarkan absensi. Karena antara absensi dengan kelulusan; antara absensi dengan nilai bagus, itu tidak ada hubungannya. Kelulusan atau nilai bagus dari si mahasiswa, yah diukur berdasarkan kapasitas pikirannya, bukan kapasitas sering hadir atau tidaknya.

Kalau misalnya ada mahasiswa yang memang kapasitas pikirannya pinter, perihal UAS dan UTS secara kognitif dia cerdas dalam menjawab, tetapi dia jarang masuk karena ada beberapa situasi yang lebih penting daripada hadir di kampus, apa ya etis, kalau dia disuruh mengulang mata kuliah? Secara tersirat, konsekuensi mengulang mata kuliah itu kan, berarti hukuman. Hla… masak ya yang bayar, tapi dia yang dihukum, sih. Harusnya suka-suka dia kan, mau hadir atau tidak. Malahan, si mahasiswa yang seharusnya punya otoritas menghukum. Menghukum dosen yang sering tidak masuk kelas, misalnya.

Memang terkesan berbahaya sih, wacana ini. Kemungkinan buruknya, mahasiswa jadi meremehkan kehadirannya, dan semakin leluasa untuk bolos kuliah. Tetapi, juga lebih berbahaya lagi jika regulasi absensi ini masih terus diaktualisasikan. Karena seperti yang saya bilang di awal tadi, seorang mahasiswa jadi tidak punya kesadaran otentik atas keberadaan dirinya. Perihal kuliah, hanya jadi sekadar formalitas aja untuk citranya agar terlihat tinggi karena identitas dan kertas ijazahnya. Bukan karena keotentikan dirinya sebagai mahasiswa; generasi bangsa yang punya daya intelektual tinggi.

Tidak hanya berbacot sinis akibat tidak lulus mata kuliah, saya juga punya saran untuk menggantikan absensi ini sebagai regulasi. Ayolah para akademisi di kampus, coba mulai dibangun pedagogi etis dalam setiap kelas kuliah. Ajak mahasiswa diskusi terkait pemahaman eksistensi dirinya di setiap kelas kuliah. Coba bangun awareness tentang dirinya sebagai manusia setengah matang; sebagai mahasiswa; sebagai seseorang yang diharapkan oleh orang tua dan negaranya. Sebab, tidak semuanya, mereka memutuskan jadi mahasiswa karena kemauan dan otentisitasnya sendiri. Ada banyak kasus mahasiswa yang putus kuliah akibat tidak matangnya keputusan mereka.

Anak muda sekarang, bagi saya, itu sudah tidak lagi relevan diajar dengan cara menggurui. Ajak mereka diskusi, berbincang terkait mengapa dia ada di kampus, apa yang mereka harapkan ke depannya sehingga memutuskan untuk hidup di kampus. Hal-hal semacam itu yang menurut saya lebih baik daripada aturan absensi.

Kalau kampus tujuannya untuk mendistribusi kecerdasan anak muda, yah apa salahnya kalau setiap kelas kuliah, atau setidaknya satu minggu sekali ada sesi diskusi, sharing santai tentang eksistensi dirinya. Karena itu pun bisa jadi stimulus mereka, yang pada akhirnya akan membangun kesadaran bahwa kehadiran di kampus adalah sesuatu yang berharga bagi seorang pencari ilmu pengetahuan. Toh, tak perlu repot-repot lagi mendata kehadiran per-orangan, kan?


Achmad Fauzan Syaikhoni
Manusia setengah matang, yang sedang fakir pengetahuan. Kalau mau menyumbang pengetahuan, bisa kirim lewat Instagram saya @zann_sy