Ganjar Pranowo di Tengah Pusaran Demokrasi ala Begawan Dorna

Kompas.com

Penulis:        Rois Pakne Sekar
Editor:         Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Pemilu Presiden Indonesia masih akan diselenggarakan di tahun 2024, namun bursa copras-capres sudah mulai ramai. Berbagai berita politik terkait Calon Presiden berikut angka elektabilitasnya mendominasi lini masa di berbagai media. Ya harap maklum, namanya juga ingin menang. Sebisa mungkin harus beradu cepat dalam start. Jangankan bursa capres, wong bursa transfer pemain sepakbola di Eropa sana juga sudah mulai ramai kok.

Berita politik yang paling menyita perhatian seminggu belakangan ini tentu saja tentang Ganjar Pranowo. Berita tentang kader PDIP tersebut selalu menjadi trending karena selain elektabilitasnya yang nangkring di 3 besar, juga karena hubungan dengan partainya yang bisa dibilang ngeri-ngeri sedap.

Kabar teranyar Pak Ganjar mendapatkan sanksi berupa teguran lisan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada hari Senin, 24 Oktober 2022. Pasalnya sang kader partai sempat menyatakan siap menjadi Presiden ketika diwawancarai dalam sebuah acara di TV swasta nasional tempo hari. Bahkan FX Hadi Rudyatmo pun kena getahnya, padahal dia hanya memberi dukungan kepada Ganjar.

Bayangkan betapa ribetnya menjadi kader partai yang katanya mengusung demokrasi, wong bilang siap saja lho bisa jadi masalah.

Pandhita ing Sokalima yang Berlagak Demokratis
Melihat situasi tersebut saya kok jadi ingat sebuah episode dalam wiracarita Mahabharata, lebih tepatnya lakon Bambang Ekalaya. Si Ekalaya yang juga dikenal sebagai Bambang Palgunadi adalah seorang satria dari suku Nishada dengan keahlian memanah yang mumpuni. Bahkan keahliannya menthang jemparing disebut-sebut setara dengan Arjuna.

Konon suatu ketika Ekalaya melamar menjadi murid Resi Dorna. Namun ketika itu sang Begawan menolak karena ia telah bersumpah untuk mengajarkan ilmunya hanya kepada Pandawa dan Kurawa. Palgunadi jelas sedih dan kecewa atas penolakan tersebut, namun kekecewaan tersebut tidak mengurangi kekagumannya pada sang Begawan dari Sokalima.

Singkat cerita Ekalaya membuat sebuah patung Pandhita Dorna. Ia mengasah ilmu memanahnya di bawah ‘pengawasan’ patung sang Resi. Dengan begitu ia tetap merasa sebagai murid sang Resi. Suatu ketika ia menunjukkan keahliannya tersebut di hadapan Dorna, berharap bisa diakui sebagai murid. Namun sang Pandhita malah kuatir jika kelak Ekalaya akan bisa mengalahkan Arjuna, murid kinasihnya. Di hati Dorna, Arjuna adalah putra mahkota yang keilmuannya harus selalu menjadi nomor satu.

Namun sebagai seorang master yang juga sepuh, Dorna merasa perlu untuk menjaga citra guru yang bijaksana dan demokratis. Lha wong gelarnya saja berderet-deret lho.. Ia bergelar Begawan karena menjadi guru resmi di istana. Disebut Pandhita karena masih kerap bertapa, meskipun tinggal di lingkungan kraton. Juga kerap disebut Resi karena ia masih sanggup turun langsung berperang ke medan laga. Semua gelar tersebut didapatkan melalui laku tirakat tenanan, bukan gelar honoris causa.

Nah, Dorna merasa wajib menjaga image, artinya dia mesti terlihat sebagai guru yang demokratis, mau berbagi ilmu tanpa pandang bulu. Maka Pandhita ing Sokalima bersiasat, mau mengakui Ekalaya sebagai murid dengan sebuah guru daksina. Ia meminta sesuatu dari Ekalaya sebagai wujud bakti seorang murid kepada guru. Dan yang diminta adalah ibu jari tangan kanannya.

Apakah Ekalaya menolak? Tidak, dia manut saja karena saking inginnya diakui sebagai murid Begawan Dorna. End of story kita sama-sama mafhum, apa sih yang bisa dilakukan seorang pemanah tanpa ibu jari tangan kanan?

Antara Bambang Ekalaya dan Ganjar Pranowo
Sekilas terdapat kemiripan antara apa yang dialami Ganjar dengan lakon Bambang Ekalaya. Keduanya sama-sama paraga partikelir, satria pinggiran yang tidak memiliki garis darah bangsawan politik. Eh, memangnya garis darah masih penting di alam politik demokrasi? Ehm.. jelas penting. Demokrasi ya demokrasi, tapi penguasanya tetap harus dari dinasti kae.

Keduanya juga sama-sama berada di tengah pusaran politik ‘pura-pura’ demokrasi. Sebuah kondisi di mana semua boleh berkompetisi secara ‘adil’ to be number one. Namun dengan satu syarat utama di mana pemenangnya mestilah tetap sang putra mahkota. Jika Ekalaya terbentur oleh guru daksina yang diminta Dorna, maka kader-kader partai jaman sekarang kerap berhadapan dengan ketidakbijakan ketua umum.

Persamaan ketiga masih bisa diperdebatkan sih, sebab lakon Ganjar Pranowo belum usai. Membandingkan perkara ibu jari kanan yang dikorbankan Ekalaya dengan teguran lisan yang diterima Ganjar jelas tidak setara. Toh baru sekadar teguran, belum sampai ‘dipotong’ karir kepartaiannya.

Satu hal yang mestinya bisa dipetik sebagai pelajaran, baik Ekalaya maupun Pak kader partai sebenarnya mempunyai pilihan lain. Ekalaya bisa saja menolak permintaan Dorna, sedangkan Ganjar bisa keluar dari bayang-bayang sang patron untuk menjadi ronin politik di Indonesia. Masalahnya tinggal berani atau tidak.

Lakon Bambang Ekalaya telah selesai ditulis dan menjadi wiracarita agung yang diceritakan turun-temurun. Sedangkan kisah Ganjar Pranowo masih otw menuju klimaks. Perlu kita nantikan bagaimana kelanjutan lelakonnya, sambil berharap akan ada suspense politik yang anget-anget gimana gitu...


Rois Pakne Sekar

Seorang part time teacher dan full time parent. Mengajar -sekaligus belajar- Mapel Bahasa Jawa di SD Mafaza Integrated Smart School. Juga seorang atlit badminton amatir yang tidak akan takut menghadapi 'minions' ataupun 'the daddys'