Orang Mati Juga Rentan Menjadi Korban Diskriminasi
![]() |
SehatQ |
Penulis: Latatu Nandemar
Editor: Farijihan Putri
Cangkeman.net - Diskriminasi merupakan salah satu noda hitam kehidupan sosial paling purba yang belum punah, bahkan malah berevolusi menjadi beberapa bentuk seiring dengan perubahan sosial, budaya hingga menyentuh juga ranah agama. Ironisnya perlakuan tidak terpuji ini juga merambah ke orang yang sudah meninggal dunia.
Begini cerita dari sudut pandang saya bahwa orang mati bisa menjadi korban diskriminasi. Sekarang simak baik-baik.
Di lingkungan sekitar rumah saya ada seorang yang sangat kaya. Profesinya adalah penyuplai miras untuk lokasi-lokasi hiburan malam di wilayah Jakarta. Dari situlah sumber kekayaannya berasal. Tetapi, meski bisnisnya merupakan bisnis yang tidak direstui oleh agama, orang tersebut memiliki sifat dermawan dan levelnya di atas rata-rata. Sifatnya seolah membuat segala hal yang berkaitan dengan bisnisnya menjadi termaafkan, bahkan seperti tidak dipedulikan oleh orang-orang sekitar.
Barangkali ini alasan mereka tidak ambil pusing atas bisnis orang kaya tersebut. Setiap ada orang butuh uang ia bantu dengan uang pribadinya. Setiap ada fasilitas umum yang harus diperbaiki ia akan perbaiki dengan uang dari kantongnya sendiri. Terlebih lagi untuk acara-acara hiburan, dia akan mudah menjadi donatur dengan uang yang lagi-lagi milik pribadinya. Saya menyimpulkan "loyalitasnya" sudah tidak perlu diragukan lagi. Seolah saya melihat sosok orang yang sudah sepuh ini seperti Pablo Escobar versi level desa.
Setiap yang bernyawa pasti mati, itu sudah menjadi keniscayaan. Orang terkaya di wilayah saya ini menghembuskan nafas terakhir pada usia 79 tahun. Berita duka tersebut cepat menyebar ke seluruh warga mulai dari tingkat kampung hingga kecamatan. Akibatnya, banyak pelayat yang datang dari berbagai daerah sampai menimbulkan kemacetan. Terjadi kepadatan yang luar biasa karena shalat jenazah saja terbagi menjadi lima gelombang dan dilakukan secara bergantian. Nah, saya masuk pada kloter terakhir.
Sebetulnya sudah lumrah, di daerah saya dan di daerah-daerah lainnya jika ada yang menyalatkan jenazah akan diberi amplop berisi uang. Tentu saja, saya juga mendapat jatah. Saya terbelalak saat membuka amplop setiba di rumah dan mengetahui nominalnya sangat luar biasa besar, jauh di atas rata-rata dari biasanya.
Selepas itu, pihak keluarga mengumumkan tentang acara tahlilan yang akan diadakan mulai malam nanti hingga tujuh hari berturut-turut. Kemudian dilanjut dengan tahlilan pada setiap pekan hingga mencapai 40 hari kedepannya.
Rupanya memang manusia tidak bisa menahan diri. Seketika telinga saya menangkap suara sekawanan lebah yang sedang berebut makan, bisik-bisik sumringah tersebut berasal dari mereka yang rata-rata berusia muda dengan outfit peci dan sarung di belakang ketika pengumuman usai.
Sudah pasti dapat ditebak. Setiap malam kembali terjadi kepadatan karena kedatangan orang dari berbagai tempat untuk ikut acara tahlilan. Selain itu, sudah menjadi kebiasaan juga setiap pulang tahlilan akan ada berkat atau yang kadang juga disebut besek yaitu nasi yang sudah dimasak kemudian dikemas beserta lauk-pauk. Ada tambahan amplop berisi uang untuk dibawa pulang, tentu saja karena orang yang mati itu bergelimang harta.
Dihadapkan dengan kenyataan tersebut, saya sempat bertanya-tanya dalam hati. Seandainya pihak yang berduka merupakan orang miskin dan tidak memiliki kekayaan yang melimpah, akankah orang-orang dari berbagai tempat ini mau mendoakan dengan ikhlas? Akankah mereka berdesak-desakan menuju rumah duka dan siap pulang tanpa membawa apa-apa selain pahala?
Ternyata, saya tidak perlu menunggu lama jawaban atas pertanyaan itu. Salah satu tetangga saya yang lain mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Berbeda dengan orang mati sebelumnya, kondisi ekonominya sangat memprihatinkan.
Jadi, untuk urusan acara menyalatkan dan tahlilan sangat tidak mungkin dilangsungkan secara ”meriah” seperti layaknya orang kaya yang mati tadi. Acara diadakan dengan sangat seadanya tanpa bagi-bagi amplop karena profesinya memang seorang buruh tani.
Saya tidak mengerti kemana perginya orang-orang yang berdesakan untuk menyalatkan jenazah kaya sebelumnya. Pemandangan itu sirna. Saya hanya melihat segelintir orang saja ketika jenazah disholatkan.
Ketika malam tahlilan dilaksanakan, lagi-lagi hati saya terusik. Hanya kerabat dan tetangga dekat saja yang bersedia untuk menghadiri tahlilan. Tidak ada kemacetan, tidak ada bisik-bisik sumringah dari para remaja. Padahal lokasi kedua rumah duka berada pada satu jalur dan disepakati untuk dilaksanakan pada waktu yang tidak berbenturan. Bagi saya, sungguh kontras dan sangat nyata tindakan diskriminasi yang menimpa orang miskin, bahkan saat dirinya sudah mati.
Dalam sudut pandang sosial dan agama jelas perbuatan diskriminasi merupakan masalah besar. Seharusnya mayoritas warga tidak memberlakukan skala prioritas dalam memilih dan bersikap ketika berurusan dengan orang mati. Setiap jenazah berhak diperlakukan sama. Mendoakan tidak seharusnya mempertimbangkan status sosial dan ekonomi serta tidak perlu melihat seberapa besar income atau benefit yang bisa dibawa pulang. Masa iya sih, datang ke acara orang berduka dijadikan momentum perbaikan gizi dengan besek yang penuh lauk-pauk? Emang nggak malu dengan almarhum?
Sebetulnya, mengatasi fenomena diskriminasi terhadap orang mati bisa dengan mengoptimalkan peran dari para kasepuhan atau sosok-sosok yang dituakan. Mereka harus lebih tanggap dan cepat dalam menjangkau masalah semacam ini. Pelurusan bisa disampaikan pada momen perkumpulan rutin seperti pengajian, majelis taklim, dan khutbah Jumat agar tindakan diskriminasi tidak perlu terulang kembali apalagi terhadap orang mati.
Siapapun ingin mendapat perlakuan terbaik saat mati termasuk GOLEK (Golongan Lemah Ekonomi). Mereka ingin adanya kesediaan dari lingkungan sekitar untuk hadir secara ikhlas dan memanjatkan doa bersama meski tidak mendapat jamuan yang maksimal. Semakin banyak orang yang mendoakan dengan ikhlas, maka jenazah yang berpulang akan semakin tenang. Meskipun kita tidak banyak membantu semasa almarhum hidup, setidaknya mari panjatkan doa untuk kebaikannya bukan malah mendiskriminasinya.
Cangkeman.net - Diskriminasi merupakan salah satu noda hitam kehidupan sosial paling purba yang belum punah, bahkan malah berevolusi menjadi beberapa bentuk seiring dengan perubahan sosial, budaya hingga menyentuh juga ranah agama. Ironisnya perlakuan tidak terpuji ini juga merambah ke orang yang sudah meninggal dunia.
Begini cerita dari sudut pandang saya bahwa orang mati bisa menjadi korban diskriminasi. Sekarang simak baik-baik.
Di lingkungan sekitar rumah saya ada seorang yang sangat kaya. Profesinya adalah penyuplai miras untuk lokasi-lokasi hiburan malam di wilayah Jakarta. Dari situlah sumber kekayaannya berasal. Tetapi, meski bisnisnya merupakan bisnis yang tidak direstui oleh agama, orang tersebut memiliki sifat dermawan dan levelnya di atas rata-rata. Sifatnya seolah membuat segala hal yang berkaitan dengan bisnisnya menjadi termaafkan, bahkan seperti tidak dipedulikan oleh orang-orang sekitar.
Barangkali ini alasan mereka tidak ambil pusing atas bisnis orang kaya tersebut. Setiap ada orang butuh uang ia bantu dengan uang pribadinya. Setiap ada fasilitas umum yang harus diperbaiki ia akan perbaiki dengan uang dari kantongnya sendiri. Terlebih lagi untuk acara-acara hiburan, dia akan mudah menjadi donatur dengan uang yang lagi-lagi milik pribadinya. Saya menyimpulkan "loyalitasnya" sudah tidak perlu diragukan lagi. Seolah saya melihat sosok orang yang sudah sepuh ini seperti Pablo Escobar versi level desa.
Setiap yang bernyawa pasti mati, itu sudah menjadi keniscayaan. Orang terkaya di wilayah saya ini menghembuskan nafas terakhir pada usia 79 tahun. Berita duka tersebut cepat menyebar ke seluruh warga mulai dari tingkat kampung hingga kecamatan. Akibatnya, banyak pelayat yang datang dari berbagai daerah sampai menimbulkan kemacetan. Terjadi kepadatan yang luar biasa karena shalat jenazah saja terbagi menjadi lima gelombang dan dilakukan secara bergantian. Nah, saya masuk pada kloter terakhir.
Sebetulnya sudah lumrah, di daerah saya dan di daerah-daerah lainnya jika ada yang menyalatkan jenazah akan diberi amplop berisi uang. Tentu saja, saya juga mendapat jatah. Saya terbelalak saat membuka amplop setiba di rumah dan mengetahui nominalnya sangat luar biasa besar, jauh di atas rata-rata dari biasanya.
Selepas itu, pihak keluarga mengumumkan tentang acara tahlilan yang akan diadakan mulai malam nanti hingga tujuh hari berturut-turut. Kemudian dilanjut dengan tahlilan pada setiap pekan hingga mencapai 40 hari kedepannya.
Rupanya memang manusia tidak bisa menahan diri. Seketika telinga saya menangkap suara sekawanan lebah yang sedang berebut makan, bisik-bisik sumringah tersebut berasal dari mereka yang rata-rata berusia muda dengan outfit peci dan sarung di belakang ketika pengumuman usai.
Sudah pasti dapat ditebak. Setiap malam kembali terjadi kepadatan karena kedatangan orang dari berbagai tempat untuk ikut acara tahlilan. Selain itu, sudah menjadi kebiasaan juga setiap pulang tahlilan akan ada berkat atau yang kadang juga disebut besek yaitu nasi yang sudah dimasak kemudian dikemas beserta lauk-pauk. Ada tambahan amplop berisi uang untuk dibawa pulang, tentu saja karena orang yang mati itu bergelimang harta.
Dihadapkan dengan kenyataan tersebut, saya sempat bertanya-tanya dalam hati. Seandainya pihak yang berduka merupakan orang miskin dan tidak memiliki kekayaan yang melimpah, akankah orang-orang dari berbagai tempat ini mau mendoakan dengan ikhlas? Akankah mereka berdesak-desakan menuju rumah duka dan siap pulang tanpa membawa apa-apa selain pahala?
Ternyata, saya tidak perlu menunggu lama jawaban atas pertanyaan itu. Salah satu tetangga saya yang lain mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Berbeda dengan orang mati sebelumnya, kondisi ekonominya sangat memprihatinkan.
Jadi, untuk urusan acara menyalatkan dan tahlilan sangat tidak mungkin dilangsungkan secara ”meriah” seperti layaknya orang kaya yang mati tadi. Acara diadakan dengan sangat seadanya tanpa bagi-bagi amplop karena profesinya memang seorang buruh tani.
Saya tidak mengerti kemana perginya orang-orang yang berdesakan untuk menyalatkan jenazah kaya sebelumnya. Pemandangan itu sirna. Saya hanya melihat segelintir orang saja ketika jenazah disholatkan.
Ketika malam tahlilan dilaksanakan, lagi-lagi hati saya terusik. Hanya kerabat dan tetangga dekat saja yang bersedia untuk menghadiri tahlilan. Tidak ada kemacetan, tidak ada bisik-bisik sumringah dari para remaja. Padahal lokasi kedua rumah duka berada pada satu jalur dan disepakati untuk dilaksanakan pada waktu yang tidak berbenturan. Bagi saya, sungguh kontras dan sangat nyata tindakan diskriminasi yang menimpa orang miskin, bahkan saat dirinya sudah mati.
Dalam sudut pandang sosial dan agama jelas perbuatan diskriminasi merupakan masalah besar. Seharusnya mayoritas warga tidak memberlakukan skala prioritas dalam memilih dan bersikap ketika berurusan dengan orang mati. Setiap jenazah berhak diperlakukan sama. Mendoakan tidak seharusnya mempertimbangkan status sosial dan ekonomi serta tidak perlu melihat seberapa besar income atau benefit yang bisa dibawa pulang. Masa iya sih, datang ke acara orang berduka dijadikan momentum perbaikan gizi dengan besek yang penuh lauk-pauk? Emang nggak malu dengan almarhum?
Sebetulnya, mengatasi fenomena diskriminasi terhadap orang mati bisa dengan mengoptimalkan peran dari para kasepuhan atau sosok-sosok yang dituakan. Mereka harus lebih tanggap dan cepat dalam menjangkau masalah semacam ini. Pelurusan bisa disampaikan pada momen perkumpulan rutin seperti pengajian, majelis taklim, dan khutbah Jumat agar tindakan diskriminasi tidak perlu terulang kembali apalagi terhadap orang mati.
Siapapun ingin mendapat perlakuan terbaik saat mati termasuk GOLEK (Golongan Lemah Ekonomi). Mereka ingin adanya kesediaan dari lingkungan sekitar untuk hadir secara ikhlas dan memanjatkan doa bersama meski tidak mendapat jamuan yang maksimal. Semakin banyak orang yang mendoakan dengan ikhlas, maka jenazah yang berpulang akan semakin tenang. Meskipun kita tidak banyak membantu semasa almarhum hidup, setidaknya mari panjatkan doa untuk kebaikannya bukan malah mendiskriminasinya.

Posting Komentar