Pesugihan Kera yang Berkedok Wisata Kethekan

Muhamad Irfan Kusbiantoro

Penulis:            Muhamad Irfan Kusbiantoro
Editor:             Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Untuk segera meraih kekayaan dengan kerja keras dan halal memang memerlukan waktu yang tidak sebentar, cukup lama dan menguras tenaga. Makanya tidak sedikit orang yang ingin kaya secara instan. Bahkan rela bersekutu dengan setan, yaitu dengan cara melakukan ritual pesugihan.

Di Jawa Timur misalnya, ada banyak tempat untuk melaksanakan ritual ngipri atau pesugihan. Salah satunya di daerah Ngujang, Tulungagung. Di tempat ini terkenal dengan pesugihan monyet atau kera, atau dalam Bahasa Jawa disebut dengan kethek.

Tidaklah sulit menemukan tempat ritual pesugihan ini. Kalau kalian hendak menuju ke Kota Tulungagung, para wisatawan yang datang dari arah utara, pasti melewati Desa Ngujang. Dan untuk para wisatawan yang sudah sering ke Tulungagung mereka akan mengira tempat ini adalah area komplek lokalisasi. Sebab, selain terkenal sebagai tempat ritual pesugihan, Desa Ngujang juga dikenal sebagai lokalisasi atau komplek tempat para pekerja seks komersial (PSK) mencari rezeki. Tapi saya tidak akan membahas mengenai PSK lebih jauh, lain kali saja.

Sementara untuk area pesugihan “kethek” berada di kompleks pemakaman umum, di sebelah selatan Sungai Brantas, tepatnya di sisi utara Desa Ngujang. Di tempat tersebut, terdapat dua makam umum di sisi kiri dan kanan. Kedua makam itu saling berhadap-hadapan dan hanya dipisah jalan raya.

Satu komplek pemakaman Pecinan atau China, satunya lagi makam Jawa. Di tempat inilah, hidup dan berkumpul ratusan, bahkan ribuan monyet penghuni makam, atau warga sekitar biasa menyebutnya lokasi “Wisata Kethekan”.

"Di situ, orang-orang yang datang, biasanya meminta pesugihan mas, memang namanya Wisata Kethekan biar lebih umum tapi maksud sebenarnya ya banyak yang meminta pesugihan itu." Terang Slamet, warga Desa Campur Darat, Tulungagung.

Lelaki paruh baya yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh spiritual di Tulungagung itu juga menceritakan, ada tata cara khusus untuk menjalani ritual pesugihan di Ngujang. Ada perjanjian-perjanjian khusus yang harus dipenuhi sang pemuja sebagai mahar alias mas kawin.

"Termasuk orang yang sedang mencari pesugihan ini harus bersedia menjadi penghuni makam Ngujang dan berkumpul bersama kethek-kethek di sana ketika ajal menjemput. Bahkan saat masih hidup si pencari pesugihan ini juga wajib memberi tumbal kepada mahkluk ghaib yang menguasai makam Ngujang."

Sementara warga sekitar meyakini kalau kethek-kethek yang menghuni makam Ngujang, adalah perwujudan dari si pemuja pesugihan yang sudah meninggal, termasuk wujud tumbal yang pernah dijadikan persembahan si pemuja semasa hidupnya. Singkat kata, monyet-monyet itu adalah mahkluk jadi-jadian alias jelmaan siluman.

Muhamad Irfan Kusbiantoro


Namun populasi monyet-monyet itu tidak bertambah maupun berkurang dari dulu. Kalau secara ilmiah dan biologis, angka kelahiran monyet itu sama dengan angka kematiannya.

Sedangkan menurut Mohammad Arifin, warga Desa Loderesan, Kecamatan Tulungagung yang akrab dan sering ngobrol dengan juru kunci makam Ngujang menceritakan bagaimana sejarah tempat ini dinamai “Wisata Kethekan”.

Sejarahe Kethekan, cerita Arifin yang didapat dari juru kunci makam Desa Ngujang. Dahulu kala, ada sebuah Pondok Pesantren di Desa Ngantru yang berada tidak jauh dari Desa Ngujang. "Sampai sekarang pesantren itu masih ada," katanya.

Suatu hari ada dua orang santri Ponpes tersebut, laki-laki dan perempuan, tengah bermain-main di sekitar dua komplek makam. "Dahulu tempat tersebut bukanlah makam, hanya tempat biasa yang rindang karena banyak pohon-pohon besar yang tumbuh," terang Arifin melanjutkan cerita dari juru kunci. Sekarang pun pohon-pohon besar masih bisa dijumpai di area pemakaman. 

"Dua santri itu sengaja membolos dari pengajian untuk bermain-main di tempat yang kini dijadikan tempat pesugihan. Mereka bermain sambil memanjat pohon di tempat tersebut. Karena asyik bermain, kedua santri tersebut, lupa kalau ada pengajian rutin di pesantren tempat mereka belajar. Namun, tiba-tiba salah satu kiai mereka datang dan bertemu dengan dua santrinya yang asyik bermain tersebut".

Kedua santri itu masih asyik memanjat pohon ketika kiai mereka datang. Sedangkan sang kiai yang melihat kedua santrinya tidak mengikuti pengajian, menegur dua bocah tersebut. Kata sang kiai, "Nduk, le, kalian kok tidak ikut ngaji? Lihat teman-teman kalian sedang mengaji di pondok. Kalian kok malah memanjat pohon di sini, seperti kera saja."

Menurut orang-orang zaman dulu, apalagi orang-orang sakti seperti para kiai,orang alim yang rajin berpuasa dan tiarakat, Kata-katanya ibarat kutukan. "Kedua santri itu, konon menjadi monyet yang hidup di sekitar makam Desa Ngujang. Monyet yang sering terlihat di sekitar makam Ngujang itu, adalah keturunan dari dua santri yang dikutuk menjadi monyet oleh kiai pondok tersebut. Sejak saat itu, desa itu disebut sebagai desa Ngujang yang berasal dari kata pawejangan, yang artinya tempat menuntut ilmu (pondok pesantren) dan nasehat agar jangan berbuat tercela."

Muhamad Irfan Kusbiantoro

Selanjutnya seiring berkembangnya cerita dari masa ke masa, makam Ngujang atau Kethekan, dijadikan tempat mencari pesugihan. Siapapun yang meminta bantuan kepada juru kunci untuk mencari pesugihan, dia si pencari pesugihan diberi seekor monyet yang dijadikan peliharaan untuk dapat mendatangkan rezeki.

"Sebelum dihadiahi seekor monyet, si pemuja diminta melakukan ritual terlebih dahulu. Dan pada setiap tahun di tanggal 1 Suro, semua orang yang pernah mencari pesugihan di sana, dimintai sumbangan tertentu untuk mengadakan ritual semacam selametan agar dimudahkan hidupnya. Semua orang yang pernah mencari pesugihan di sana akan diundang dalam acara selametan tersebut," Jelas Arifin mengakhiri cerita yang pernah dia dapat di Desa Ngujang, dan kebetulan dia akrab dengan juru kuncinya.

Muhamad Irfan Kusbiantoro

Mahasiswa biasa saja yang tidak terkenal.