Anak Petani yang Enggak Mau Jadi Petani
Penulis: Budi Prathama
Editor: Fatio Nurul Efendi
Cangkeman.net - Menggaungkan agar generasi muda harus melek bertani atau harus menjiwai menjadi petani tampaknya masih perlu pendiskusian panjang. Terutama bagi mereka yang memang terlahir dari bapak dan ibunya seorang petani, maka anaknya sering dinotabenekan harus jadi pelanjut untuk bertani juga.
Ajakan untuk bertani bagi kalangan muda atau istilah kerennya generasi milenial sangatlah bagus dan memang patut diapresiasi. Mengapa tidak? Kalau gak ada generasi muda yang melanjutkan jadi petani, lalu gimana nasib kita dan anak cucu kita ke depan. Mau makan apa mereka kalau gak ada yang mau jadi petani. Itu sih poin pentingnya.
Tapi, kok sekarang masih banyak generasi muda belum menjiwai menjadi seorang petani, bahkan dari kalangan anak petani sekalipun. Hal itu terjadi tentu bukan tanpa alasan, dan problem ini harus dicari tahu penyebabnya, terutama bagi pihak pemerintah. Ada apa dengan persoalan petani kita?
Okey, mungkin masih wajar-wajar saja kalau mereka yang bukan keturunan petani gak memilih untuk bertani. Namun anak petani juga gak selalu menyandang status akan jadi petani dan melanjutkan pekerjaan orang tuannya itu. Masa depan anak gak mesti dilihat dari latar belakang orang tuanya.
Saya sendiri anak petani, tapi saya memilih untuk tidak jadi petani. Pilihan itu tentu kalian gak boleh justifikasi saya secara sepihak, terutama mereka-mereka yang selalu menggaungkan kalau generasi muda harus jadi petani. Problemnya bukan karena saya gak mau jadi petani, tetapi kondisi pertanian kita masih mengandung banyak masalah.
Bayangkan saja, pemerintah selalu buat propaganda agar kaum muda harus jadi petani, tetapi nyatanya kok perampasan lahan dan pertanian masih sering dilakukan. Atas nama pembangunan, tanah dan lahan pertanian sering kali dijadikan tumbal. Artinya makin hari gak menutup kemungkinan lahan pertanian akan sempit dan langka. Ini menjadi problem. Parahnya lagi kalau lahan pertanian tersebut sedang musimnya berhasil, eh tetapi dibabat habis. Bagaimana gak trauma kalau penggusuran tanah masih sering terjadi. Disuruh jadi petani, eh malah digusur juga tanahnya.
Problem selanjutnya nasib petani yang belum jelas, pemerintah masih kurang berperan dalam mensejahterakan petani. Kalaupun terlibat dalam permasalahan petani, justru gak berpihak kepada petani-petani kecil dan justru mementingkan kepentingan para oligarki. Ini kan sama saja bohong dan memang kita selalu ingin dibohongi. Kebayang tidak, harga pertanian masih bersifat fluktuatif, gak ada kejelasan patokan harga. Bahkan sering terjadi, harga pertanian anjlok.
Seandainya pemerintah mampu menjamin harga hasil pertanian bisa tetap stabil, mungkin saja itu bisa menjadi motivasi untuk bisa bertani, tetapi kan tidak. Kita semua sebagai anak petani, mungkin sudah sering melihat bagaimana nasib orang tua kita yang bekerja sebagai petani. Mereka bekerja dan menguras banyak keringat, tetapi penjualan hasil pertanian kadang gak seimbang.
Kondisi inilah yang membuat trauma kepada kita sebagai anak petani. Kalau kita berani ambil resiko untuk melanjutkan sebagai petani dari pekerjaan orang tua, tentu harus meneerima nasib yang bisa saja sama yang dirasakan orang tua kita. Artinya trauma kepedihan dan nasib seorang petani sering kali kita saksikan.
Ya, walaupun kita sebagai generasi muda sudah digandrungi berbagai ilmu pengetahuan dan berbagai macam tekhnologi, tetapi kondisi itu gak akan mampu membuat kaum muda termotivasi jadi petani kalau problem pertanian masih merajalela. Aturan dan kepentingan selalu berpihak kepada mereka yang punya modal, kan lucu.
Maka dari itu, menurut hemat saya, pemerintah harus ambil peran dalam mensejahterakan petani. Pemerintah gak cukup hanya sekadar sosialisasi pentingnya pertanian dan krisisnya minat menjadi petani, tetapi pemerintah harus turun tangan dalam menyelesaikan problem petani. Misalnya saja harga hasil pertanian harus memiliki kejelasan, tanah gak melulu dirampas atas nama pembangunan, dan yang paling penting setiap aturan mesti berpihak kepada petani (atau rakyat kecil pada umumnya) ketimbang para oligarki.

Posting Komentar