Jabatan Kades 6 Tahun Saja Tidak Becus, Masa Mau Nambah Jadi 9 Tahun?
![]() |
Kreatifbergerak.com |
Penulis: Budi Prathama
Editor: Fatio Nurul Efendi
Cangkeman.net - Sebelum bicara panjang lebar, mari kita tarik nafas dulu dan merenung soal adanya polemik perpanjangan jabatan kepala desa (kades) menjadi 9 tahun. Kok, bisa-bisanya ya, ada wacana itu ingin memperpanjang jabatan kekuasaan, emangnya gak malu dari masa 6 tahun saja menjadi kades dikit-dikit tersiar berita kades diperiksa KPK. Kasusnya sih, kadang baru berjalan satu tahun saja, ehh diperiksa KPK lagi. Ya, kalau mau bahas masalah di desa, tentu gak cukup untuk dituliskan semua di sini.
Kembali soal wacana perpanjangan jabatan kades 9 tahun. Ini bermula ketika ratusan kepala desa dari berbagai daerah menggelar aksi di depan DPR untuk menuntut perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 pasal 39 tentang Desa.
Sedikit gambaran dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 pasal 39 tentang Desa: Kepala Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Sederhananya, masa jabatan kepala desa enam tahun dan dapat dipilih kembali selama tiga periode.
Setidaknya alasan yang digaungkan kenapa ada keinginan memperpanjang jabatan kades karena waktu enam tahun dianggap gak cukup untuk membangun desa. Woi, betulkah memang gak cukup atau malah mau....? Ya, udahlah. Kemudian mereka juga menganggap lebih baik dana pemilihan kepala desa itu digunakan untuk membangun desa. Ya, kalau memang murni seperti itu gak jadi soal, tapi kan nyatanya? Kita tahulah seperti apa oknum-oknum kepala desa di negeri ini.
Saya sebagai rakyat biasa gak sepakat kalau adanya perpanjangan kepala desa menjadi 9 tahun. Meskipun penolakan saya ini gak berpengaruh apa-apa, tetapi sebagai warga negara saya berhak mengungkapkannya.
Kalau jabatan kades 9 tahun ini disahkan, bisa saja mencederai demokrasi kita dan justru dapat membengkak dinasti di tingkat desa, dan tentu akan menghambat regenerasi di desa. Terlebih bisa menyuburkan tindakan korupsi terjadi.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan bahwa kasus penindakan korupsi oleh aparat penegak hukum (APH) paling banyak terjadi di sektor anggaran dana desa, yakni sebanyak 154 kasus pada 2021 dengan potensi kerugian negara sebesar Rp.233 miliar. Terkait temuan ICW tersebut, pemerintah desa yang paling banyak ditangani APH tahun lalu.
Kalau misalnya jabatan 9 tahun kemudian terpilih kembali selama tiga periode, itu artinya akan menjabat selama 27 tahun. Godaan untuk penyalahgunaan kekuasaan akan berpotensi kalau orang menjabat selama itu.
Jangankan 27 tahun, baru satu tahun saja itu ada lho yang diringkus KPK. Apalagi kalau 27 tahun tentu sangat berpotensi terjadi korupsi, kolusi, nepotisme, bagi-bagi jabatan, dan hal lain yang berbau buruk di desa.
Pikirku, tuntutan perpanjangan jabatan kades ini terlalu berlebihan. Waktu enam tahun bukan waktu sedikit untuk memperbaiki desa menjadi lebih baik. Kok kocak amat sih.
Sebenarnya banyak masalah yang bisa diselesaikan dalam waktu enam tahun, asalkan si kepala desa benar-benar memfokuskan otaknya untuk mencari solusi dan pembangunan desa. Bukan hanya angkat-angkat kaki saja di kantor desa. Kalau itu yang dilakukan, biar 50 tahun juga gak bisa membuat desa menjadi lebih baik.
Ya, bukannya saya sok tahu dan terlalu menggampangkan kerja sebagai kepala desa. Tetapi dengan luas daerah yang gak terlalu luas, seharusnya gak membutuhkan waktu terlalu lama untuk membereskan permasalahan yang ada di dalamnya.
Saya sih berharapnya pemerintah dan para pengambil kebijakan untuk tidak merevisi mengenai jabatan kades, banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan. Jangan sampai wacana ini benar-benar disahkan dan menjadi ladang kepentingan untuk Pemilu tahun 2024 saja.
Cangkeman.net - Sebelum bicara panjang lebar, mari kita tarik nafas dulu dan merenung soal adanya polemik perpanjangan jabatan kepala desa (kades) menjadi 9 tahun. Kok, bisa-bisanya ya, ada wacana itu ingin memperpanjang jabatan kekuasaan, emangnya gak malu dari masa 6 tahun saja menjadi kades dikit-dikit tersiar berita kades diperiksa KPK. Kasusnya sih, kadang baru berjalan satu tahun saja, ehh diperiksa KPK lagi. Ya, kalau mau bahas masalah di desa, tentu gak cukup untuk dituliskan semua di sini.
Kembali soal wacana perpanjangan jabatan kades 9 tahun. Ini bermula ketika ratusan kepala desa dari berbagai daerah menggelar aksi di depan DPR untuk menuntut perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 pasal 39 tentang Desa.
Sedikit gambaran dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 pasal 39 tentang Desa: Kepala Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Sederhananya, masa jabatan kepala desa enam tahun dan dapat dipilih kembali selama tiga periode.
Setidaknya alasan yang digaungkan kenapa ada keinginan memperpanjang jabatan kades karena waktu enam tahun dianggap gak cukup untuk membangun desa. Woi, betulkah memang gak cukup atau malah mau....? Ya, udahlah. Kemudian mereka juga menganggap lebih baik dana pemilihan kepala desa itu digunakan untuk membangun desa. Ya, kalau memang murni seperti itu gak jadi soal, tapi kan nyatanya? Kita tahulah seperti apa oknum-oknum kepala desa di negeri ini.
Saya sebagai rakyat biasa gak sepakat kalau adanya perpanjangan kepala desa menjadi 9 tahun. Meskipun penolakan saya ini gak berpengaruh apa-apa, tetapi sebagai warga negara saya berhak mengungkapkannya.
Kalau jabatan kades 9 tahun ini disahkan, bisa saja mencederai demokrasi kita dan justru dapat membengkak dinasti di tingkat desa, dan tentu akan menghambat regenerasi di desa. Terlebih bisa menyuburkan tindakan korupsi terjadi.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan bahwa kasus penindakan korupsi oleh aparat penegak hukum (APH) paling banyak terjadi di sektor anggaran dana desa, yakni sebanyak 154 kasus pada 2021 dengan potensi kerugian negara sebesar Rp.233 miliar. Terkait temuan ICW tersebut, pemerintah desa yang paling banyak ditangani APH tahun lalu.
Kalau misalnya jabatan 9 tahun kemudian terpilih kembali selama tiga periode, itu artinya akan menjabat selama 27 tahun. Godaan untuk penyalahgunaan kekuasaan akan berpotensi kalau orang menjabat selama itu.
Jangankan 27 tahun, baru satu tahun saja itu ada lho yang diringkus KPK. Apalagi kalau 27 tahun tentu sangat berpotensi terjadi korupsi, kolusi, nepotisme, bagi-bagi jabatan, dan hal lain yang berbau buruk di desa.
Pikirku, tuntutan perpanjangan jabatan kades ini terlalu berlebihan. Waktu enam tahun bukan waktu sedikit untuk memperbaiki desa menjadi lebih baik. Kok kocak amat sih.
Sebenarnya banyak masalah yang bisa diselesaikan dalam waktu enam tahun, asalkan si kepala desa benar-benar memfokuskan otaknya untuk mencari solusi dan pembangunan desa. Bukan hanya angkat-angkat kaki saja di kantor desa. Kalau itu yang dilakukan, biar 50 tahun juga gak bisa membuat desa menjadi lebih baik.
Ya, bukannya saya sok tahu dan terlalu menggampangkan kerja sebagai kepala desa. Tetapi dengan luas daerah yang gak terlalu luas, seharusnya gak membutuhkan waktu terlalu lama untuk membereskan permasalahan yang ada di dalamnya.
Saya sih berharapnya pemerintah dan para pengambil kebijakan untuk tidak merevisi mengenai jabatan kades, banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan. Jangan sampai wacana ini benar-benar disahkan dan menjadi ladang kepentingan untuk Pemilu tahun 2024 saja.

Posting Komentar