Seorang Wali Kelas Harus Bisa Menjadi Pendengar yang Baik
Penulis: Natacia Mujahidah
Editor: Nurul Fatin Sazanah
Transisi dari guru mapel (mata pelajaran) menjadi wali kelas, awalnya membuat saya cukup kewalahan. Jujur saja, saat menjadi guru mapel saya hanya berinteraksi secara intens dengan anak-anak saat jam mata pelajaran saya saja. Selain dari itu, komunikasi yang kami lakukan hanya sebatas tegur sapa dan mengobrol ringan.
Namun, pola komunikasi tersebut berubah ketika saya menjadi wali kelas. Intensitas komunikasi dengan anak-anak bertambah. Walaupun awalnya canggung, tapi lama kelamaan saya merasa menjadi lebih dekat dengan mereka, bahkan sampai ke taraf merasa menjadi orang tua mereka di sekolah.
Anak-anak ternyata sangat suka bercerita. Mereka menceritakan banyak hal, mulai dari rasa makanan di kantin sekolah, masalah dengan teman-temannya, hingga dengan keluarganya. Dan sebagai orang terdekat mereka di sekolah, wali kelas harus siap siaga mendengarkan cerita mereka.
Saya masih ingat betul waktu salah satu dari mereka curhat tentang problem dalam keluarganya. Disela-sela obrolan kami, dia tiba-tiba bilang, “Bu, apa gak papa kalau anak laki-laki menangis?”
Saya jawab saja, “Ya boleh dong nak, gak papa kok nangis. Kamu kan juga manusia biasa, punya perasaan, punya emosi.” Kemudian dia bercerita sambil mengusap air matanya. Saya gak kebanyang, bisa saja selama ini dia memendam semuanya sendiri karena tidak tahu harus membaginya dengan siapa.
Pada kesempatan lain, saya mengobrol dengan beberapa anak SMP dari kelas lain. Salah satu dari mereka tiba-tiba nyeletuk, “Kami ini kayak gak punya wali kelas.” Salah satu temannya menimpali, “Iya, karena gak pernah diurusin, hehe.”
Kalimat ‘tidak diurusin’ tersebut secara harfiah mungkin memiliki makna mereka gak ada tempat bersandar. Kalau mau cerita apa-apa tidak tau harus ke mana karena intensitas komunikasi dan waktu kebersamaannya dengan wali kelas yang sangat minim. Bahkan, untuk sekedar berbagi cerita tentang makanan di kantin sekolah. Saat peran wali kelas sebagai pendengar dan teman ngobrol yang baik hilang, ternyata ada ruang kosong yang dirasakan oleh siswa, dan tentu saja berpotensi sebagai bahan maido para siswa.
Lain halnya lagi, bagi wali kelas tingkat kelas rendah. Menurut cerita dari salah satu teman saya, ketika anak-anak bercerita dan wali kelasnya tidak menanggapi, maka mereka akan mengulang-ulang cerita tersebut sampai mereka mendapat tanggapan dari wali kelas mereka.
Peran wali kelas ternyata tidak hanya sekedar membantu siswa agar menjadi paham dalam materi pelajaran dan menjadikan mereka seseorang yang memiliki budi pekerti yang luhur. Namun lebih dari itu, wali kelas juga dibutuhkan untuk menjadi pendengar dan teman cerita yang nyaman bagi anak-anak.
Bayangkan saja kalau di rumah dia tidak memiliki keluarga yang harmonis, di tongkrongan tidak memiliki teman yang mau mendengarkan ceritanya. Lalu, di sekolah gurunya pun cuek bebek dan tidak menggubris saat anak tersebut ingin bercerita. Walaah.. gak kebayang deh gimana jadinya.
Anak-anak remaja ini sama halnya dengan kita orang dewasa yang ingin didengar. Mereka punya penjelasan atas apa yang mereka lakukan. Mereka butuh seseorang untuk mendengarkan cerita mereka dengan seksama, antusias, tanpa men-judge.
Dengan menjadi pendengar yang baik, mereka jadi lebih terbuka untuk bercerita kepada kita. Hal ini juga dapat meningkatkan bounding kedekatan antara wali kelas dan anak didik. Namun, tentu harus ada batasannya. Wali kelas harus pandai menempatkan diri agar wibawanya tetap terjaga.
Selain itu, saat anak-anak jadi lebih terbuka dan nyaman bercerita, wali kelas dapat menjadikan ini salah satu jalan untuk mengetahui penyebab kalau-kalau anak tersebut tidak semangat dalam belajar atau melakukan perbuatan yang menyimpang. Tentu saja, akan menjadi hal yang cukup berguna dalam proses belajar mengajar kedepannya.

Posting Komentar