Yang Bisa Arogan Bukan Cuma Pejabat

Tirto.id

Penulis:        Latatu Nandemar
Editor:          Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Arogansi kembali terjadi. Pelakunya kali ini adalah Mario Dendy Satrio yang ternyata adalah anak pejabat tinggi yang memiliki gengsi di sebuah instansi pemerintahan. Yaitu anak Rafael Alun Trisambodo yang menjadi pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kementerian keuangan.

Apa yang dilakukannya adalah penganiayaan terhadap seorang remaja laki-laki hingga luka cukup serius. Sampai-sampai tak sadarkan diri dan harus dirawat secara intensif.

Ini semakin menambah daftar panjang sikap arogan para pejabat negara (dan keluarganya) yang menjadi viral di dunia maya. Sebelum-sebelumnya pernah muncul kasus yang dilakukan oleh oknum berpakaian PNS bersikap arogan terhadap pengendara motor wanita karena mobil sang oknum terserempet oleh wanita pengendara tersebut. Dan banyak lagi sikap arogan yang dilakukan oleh mereka yang statusnya adalah pejabat di sebuah instansi pemerintahan.

Banyak sekali komentar-komentar yang mengarah atau menyerempet pada status sosial jabatan yang disandang oleh pelaku arogan tersebut. "Mentang-mentang pejabat, berbuat seenaknya pada setiap orang!". Kira-kira seperti itulah komentar-komentar banyak orang. Tetapi, benarkah sikap arogan selalu dilakukan oleh para pejabat karena merasa berada pada posisi tinggi?

Ternyata, pada kenyataannya, arogansi tidaklah selalu dimonopoli oleh pihak-pihak yang memiliki jabatan di sebuah instansi. Bahkan orang-orang yang tidak memiliki jabatan ataupun biasa disebut kalangan rakyat biasa juga sering menunjukkan sikap arogan yang tak kalah merugikannya dengan sikap arogan yang dilakukan para pejabat.

Contohnya, belum lama ini beredar dalam pemberitaan sekelompok pengamen jalanan di wilayah Bandung. Mereka bertindak sangat kasar bahkan melakukan pemukulan terhadap badan bus pariwisata. Mereka marah karena tidak diperbolehkan masuk ke dalam bus untuk mengamen. Bukankah itu adalah sebuah sikap arogan? Ketika mereka dilarang masuk karena bisa mengganggu kenyamanan para penghuni bus, seharusnya yang mereka lakukan adalah pergi mencari bus lain. Bukan malah bersikap sok jagoan dan arogan. Dan ini hanyalah salah satu kasus yang dilakukan oleh mereka yang berasal dari kalangan non-pejabat.

Contoh lainnya adalah para sopir truk yang ugal-ugalan. Banyak sopir truk yang kebut-kebutan dalam mengendarai kendaraan yang kebanyakan bukan kendaraan milik mereka pribadi. Seolah mereka adalah penguasa jalanan. Dan jika kita tegur, mereka malah bersikap lebih galak dari yang menegur. Padahal mereka berada pada posisi yang salah. Bukankah ini sebuah arogansi? Dan, ingat! mereka lagi-lagi bukan dari kalangan instansi pemerintahan ataupun orang kaya yang menjadi penyandang jabatan tertentu.

Saya sendiri, sebagai orang yang berasal dari kalangan rakyat biasa, sering juga menjadi korban dari sikap arogan sesama kalangan rakyat biasa. Ketika berkendara di jalan raya, misalnya. Beberapa kali terjadi saya harus keluar aspal jalur jalan yang sedang saya gunakan karena jalur saya tersebut “direbut secara paksa" oleh bus besar yang beroperasi di kota saya. Karena saya orang kecil yang menggunakan kendaraan jenis motor kecil, sementara lawan saya adalah orang kecil yang menggunakan kendaraan jenis bus besar, akhirnya saya harus mengalah.

Pada lain waktu, ketika saya coba nekat untuk tidak mau mengalah ketika jalur saya kembali diserobot, justru sang sopir bus malah membunyikan klakson dengan intonasi yang membuat siapa saja pasti berpikir lima kali untuk melanjutkan perselisihan. Padahal sang sopir tadi ada pada posisi yang tidak benar.

Sudah banyak contoh-contoh sikap arogan yang dibuat oleh kalangan biasa. Dimulai pengemis yang menoyor kepala karena tidak diberi uang, pengamen yang memukul bus dan membentak penumpang karena tidak diberi uang, Ormas yang meminta jatah dan kemudian marah ketika tidak diberi, padahal dia tidak memiliki hak untuk meminta jatah. Dan yang terbaru adalah debt kolektor yang membentak-bentak polisi dalam kasus sengketa kendaraan.

Saya berpendapat arogansi bukanlah sikap monopoli penyandang status sosial tertentu. Banyak juga dari kalangan pejabat atau orang kaya yang baik, dan banyak pula dari kalangan non-pejabat atau dari kalangan rakyat biasa yang tidak baik. Kita tidak bisa memukul rata terhadap satu kelompok sosial tertentu saja hanya karena perbuatan segelintir orang. Karena perbuatan satu orang bukan berarti itu menjadi sebuah representasi sekelompok orang tersebut.

Arogansi adalah masalah sikap mental. Bukan masalah sebagai apa atau sebagai anak siapa? Dan tentu saja ini kembali pada asupan pendidikan yang baik terhadap setiap orang. Menjadi anak pejabat ataupun anak orang kaya jika mendapatkan orang tua yang baik dalam mendidik, maka anak tersebut akan memiliki sikap yang juga baik. sebaliknya, menjadi orang yang berasal dari kalangan biasa tetapi mendapatkan asupan pendidikan sikap, moral dan kebaikan-kebaikan lainnya yang tidak baik, maka akan menimbulkan sikap atau perilaku mental yang juga tidak baik.

Hal yang paling baik yang bisa dilakukan adalah masing-masing bisa menahan emosi dan ego untuk tidak bersikap arogan. Menyadari keadaan masing-masing bisa menjadi solusi awal untuk masalah sikap yang tidak baik ini. Karena dengan menyadari keadaan masing-masing, maka akan ada rasa malu untuk bersikap arogan.

Si pejabat atau orang kaya jika sadar dengan posisinya, maka dia akan malu untuk berbuat arogan, karena dia adalah publik figur yang harus memberikan contoh baik. Begitu pula dengan dari mereka yang berasal dari kalangan biasa, harus menyadari dengan posisinya karena ketika melakukan sikap arogan, itu akan merugikan korban maupun dirinya sendiri dan juga akan menimbulkan respon sosial tidak baik dari publik.

Semoga tak lagi harus ada korban dari sikap-sikap para pelaku arogansi. Entah itu pelaku arogan dari kalangan orang kaya ataupun pejabat, dan juga pelaku arogan dari kalangan rakyat biasa.

Latatu Nandemar

Anak baik yang tidak suka keramaian.