Apa dan Siapa
![]() |
Jeff Stapleton |
Penulis: Joko Yulianto
Cangkeman.net - Berpikir menjadi barang langka saat ini; semakin tersebarnya informasi, malah menjadikan rendah mutu berpikir masyarakat. Kemalasan berpikir diekspresikan dengan menyalahkan orang lain; menjustifikasi kebenaran atas kesimpulannya yang dangkal; mendapatkan informasi yang kurang lengkap dan tidak berusaha untuk melengkapi, seolah media cukup untuk menyajikan kebenaran mutlak atas pendapatnya.
Konflik mudah muncul akibat kegagalan memahami konteks dan materi yang dibahas. Doktrinasi dan fanatisme menjadi barang mewah tanpa usaha dan keberanian mengoreksi diri sendiri. Sementara sesuatu yang sudah terjadi—meski diakui salah—tidak diimbangi dengan permintaan maaf atau dijadikan bahan pelajaran, bahwa manusia punya potensi besar untuk salah atas keyakinan terhadap kebenaran yang sekarang.
Apa pun pendapat yang tidak sesuai keyakinan akan dilawan dan disalahkan. Keyakinan dipertebal dalam diskursus kelompok yang sesuai cara berpikir melihat konteks permasalahan. Keyakinan tersebut dipupuk dan melahirkan kebencian terhadap individu atau kelompok lain yang berbeda pandangan.
Kebencian mudah untuk ditularkan, sementara cinta sangat sulit untuk diajarkan. Kebencian dan kecintaan tidak menghasilkan pemikiran yang terbuka dan bijaksana. Ketika memutuskan untuk membenci seseorang, maka apa pun yang dikatakan dan dilakukan adalah salah. Sebaliknya, ketika memutuskan mencintai seseorang, maka apa pun yang dikatakan dan dilakukan adalah benar.
Dikotomi itulah yang menyebabkan konflik sulit diuraikan. Penjelasan yang runtut dengan metodologi ilmiah juga akan ditolak. Sekarang manusia menjadi anti kritik. Malah membalas kritikan dengan kebencian dan aksi perundungan masal di media sosial bersama kelompok yang sealiran dengannya.
Gemar mencari perbedaan untuk mengalahkan lawan dan menunjukkan eksistensi di tengah masyarakat. Bangga ketika merasa berhasil “mempermalukan” lawan debat (argumentasi). Sementara perasaan kalah akan dipendam menjadi dendam untuk mencari strategi balasan menghancurkan lawan.
Setiap permasalahan tidak pernah selesai ketika ketidakcocokan disandarkan pada siapa yang mengatakan dan melakukan, bukan apa yang dikatakan dan dilakukan. Tidak mau menerima kebenaran informasi dan argumentasi dari orang yang dianggapnya lawan. Tidak ada lagi pepatah perbedaan itu berkah, selain perbedaan itu musibah.
Berpikir Panjang
Kita butuh waktu untuk membiasakan berpikir sebelum gegabah mengambil kesimpulan dan keputusan. Dalam teologi Islam, Insan Kamil merupakan keadaan manusia menyadari posisinya sebagai hamba Tuhan. Menyandarkan kebenaran kepada Tuhan dan istikamah bermuhasabah tentang dosa dan kesalahannya.
Sebaliknya, Insan Al-Hayawan merupakan manusia binatang yang tidak memanfaatkan akalnya untuk berpikir—seperti binatang yang mengandalkan insting dan nafsunya. Bahkan dalam takaran tertentu bisa masuk kategori Asfala safilin (manusia yang paling rendah).
Manusia mulai malas mempelajari persoalan melalui pertimbangan berpikir dengan seksama. Manusia lebih sibuk mengutuk, membuang, dan menghinakan buah busuk; tanpa sedikit pun berpikir tentang keberadaan pohon, akar, dan tanahnya. Apalagi yang menciptakan dan menjadikan adanya tanah.
Sehingga setiap permasalahan jarang diselesaikan dengan solusi selain adu lempar cacian dan makian. Manusia hidup dalam kubangan konflik dan bergairah mencari permasalahan. Teknologi memaksa manusia malas bergerak dan berpikir. Berharap segala informasi dan kebutuhan disediakan secara instan, meski berisiko manipulatif dan beracun.
Mentalnya direvolusi agar siap berdebat dan berperang. Menjadi pemberani dan egois untuk tidak menerima masukan dan kritikan. Bahagia diberikan bantuan tunai yang habis dalam waktu sebulan—dan marah-marah jika diberikan bantuan usaha atau lapangan pekerjaan—yang bakal menghasilkan jauh lebih banyak uang meski menunggu setahun kemudian.
Bebas memperlakukan alam tanpa khawatir risiko krisis iklim di masa depan. Manusia benar-benar malas berpikir panjang dan lebih asyik membahagiakan diri sendiri saat ini. Radikalisme berpikir perlu diperhatikan sebagai gagasan membangun peradaban. Sehingga manusia tidak lagi bebal menerima perbedaan pendapat.
Mengajari berpikir agar lebih bijaksana dan bermanfaat bagi orang lain. Sehingga banjir informasi relevan dengan kemampuan berpikir, bukan sebaliknya. Semakin banyak ilmu akan menyadarkan manusia bahwa pemahamannya terbatas. Apalagi membenarkan pendapat secara mutlak tanpa melibatkan kehadiran Tuhan.
Manfaat berpikir panjang dapat mengurangi risiko konflik, tidak mudah termakan hoaks, dan dihormati sebagai orang arif. Sementara malas berpikir akan berisiko hidup selalu bergulat dengan masalah dan kebencian karena melihat banyaknya perbedaan yang dianggap mengancam keyakinan.
Dengan berpikir panjang, orang akan melihat apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Sehingga wacana tidak hanya dibahas di lapisan kulitnya saja, namun lebih pada analisis mencari kebenaran dari substansi permasalahan. Kemudian mempraktikkan pepatah Arab, “Undzur ma qoola wala tandzur man qoola” (lihatlah apa yang disampaikan dan jangan melihat siapa yang menyampaikan).

Posting Komentar