Bagi Mahasiswa, Selalu Ada Sesuatu di Warung Kopi

Amartha Blog

Penulis:            Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor:             Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Saya mungkin salah satu mahasiswa yang suka nongkrong di warung kopi, tapi sekaligus membencinya. Mengapa? Karena warung kopi saat ini bagi saya hanya dianggap oleh kebanyakan mahasiswa sebagai tempat pelarian atas peliknya menghadapi mata kuliah. Obrolan-obrolan di warung kopi yang seharusnya lebih luas membahas perkara yang nggak sempat dibahas di kelas, tapi kini isinya cuma ngerasani atau mencaci maki dosen dan circle pertemanan yang lain, bahkan hal-hal yang sebenarnya nggak perlu-perlu amat buat diobrolin.

Saya bukan anti dengan ngerasani atau mencaci maki, tapi saya pikir sangat rugi kalau di warung kopi yang dilakukannya cuma itu-itu aja. Yah paling nggak itu, cobalah bungkus rasan-rasan dan maki-makian itu secara kritis, argumentatif dan solutif. Biar stereotip tentang mahasiswa yang katanya sekadar seni menunda pengangguran dengan gaya ngopi hedonis itu segera terbantahkan.

Kalau nggak terima sama stereotip itu tapi ketika di warung kopi kelakuannya sama sekali nggak menggambarkan karakter mahasiswa, emangnya GA BAHAYA TA?

Esensi warung kopi bagi mahasiswa
Selama tiga tahun lebih jadi mahasiswa dan bergelut dengan dunia perkopian, saya menganggap warung kopi itu nggak sebatas tempat nyantai dan berkeluh kesah aja, tapi juga sebuah ruang luas, yang kalau kita membayar itu harganya nggak semahal uang kuliah tunggal (UKT). Bahkan, kalau kita mau memanfaatkan warung kopi itu sebijak mungkin, saya berani bilang kalau kesempatan kita buat nongkrong di warung kopi itu nggak bisa dibayar dengan uang.

Sebab ketika kita di warung kopi, ruang kita buat mengeksplorasi pikiran seluas-luasnya itu sangat mungkin. Di sana kita bisa membahas apapun secara kritis, baik itu perkara seks, relationship, politik, agama, bahkan sekalipun hal yang sangat sensitif seperti ketuhanan. Pun, pikiran liar kita di sana juga terfasilitasi sama kursi, meja, kopi, udud, yang secara psikologis membuat kita nyaman buat berpikir dan membahas apapun secara mendalam.

Semua itu nyaris nggak ada di ruang kelas. Pikiran kita hanya dibatasi sama materi mata kuliah dan pikiran dosen, yang bahkan saya yakin kita sepakat kalau sebagian masih konservatif. Belum lagi, perkara nilai atau berbagai kebijakan dari kampus dan dosen yang terkadang mau nggak mau kita yang kapasitas otaknya pas-pasan itu punya pola pikir, “Yaudah lah, saya nggak mau ribet, yang penting manut, nilai bagus, dan segera lulus tepat waktu,” Iya, kan?

Nggak hanya kampus, warung kopi juga tempat mencetak ijazah
Kalau kita nggak bisa memaksimalkan ruang kelas sebagai ruang yang bebas buat berpikir kritis, yah setidaknya kita itu bisa memanfaatkan status sebagai mahasiswa buat bebas berpikir kritis di warung kopi. Bukan apa-apa, tapi kita mahasiswa ini tanggung jawabnya sebenarnya kan cuma satu kalau ditarik secara garis besar, yaitu bagaimana kita bisa mengaktifkan pikiran kritis secara mandiri dan bagaimana kita mempunyai wawasan yang luas nan mendalam.

Saya teringat dengan salah satu perkataan Bung Rocky Gerung yang bunyinya, “Ijazah itu tanda orang pernah sekolah, bukan tanda orang pernah berpikir.” Kalau diamati secara saksama, perkataan Bung Rocky itu punya banyak makna, salah satunya adalah ijazah itu bukan hanya terbentuk di sekolah/kampus, melainkan juga di luar kampus, termasuk ketika di warung kopi. Entah itu membahas buku, diskusi, ataupun mencari pengetahuan dari pengalaman orang lain.

Jadi, kalau nongkrong di warung kopi itu cenderung identik dengan gaya hidup orang pengangguran, maka manfaatkanlah identitas kita sebagai mahasiswa buat nongkrong di warung kopi untuk mengaktifkan akal pikiran. Yah memang kita nganggur secara pekerjaan, tapi secara pikiran, kita sibuk mencari wawasan, kita bersusah payah menghasilkan gagasan, dan yang paling ndakik-ndakik kalau mau kayak mahasiswa aktivis, yaitu berani bergerak membawa perubahan.

Warung kopi bisa jadi neraka bagi mahasiswa di kemudian hari
Akan tetapi, semua itu tergantung diri kita sendiri. Mau memanfaatkan warung kopi secara bijak atau nggak, itu ada hasilnya masing-masing. Sebab, ketika kita memutuskan buat nongkrong di warung kopi, kita itu sebenarnya sedang mengorbankan banyak hal, dari mulai uang, waktu, pikiran dan tenaga.

Warung kopi justru akan jadi neraka di kemudian hari kalau kita menukarkan semua pengorbanan itu hanya dengan ngerasani atau mencaci maki tanpa menghasilkan sesuatu yang positif, apalagi dengan ngobrolin hal-hal yang nggak ada manfaatnya sama sekali. Sebab, di masa yang akan datang, kita akan benci dengan warung kopi karena kita udah nggak bisa leluasa dan sesenggang dulu ketika jadi mahasiswa yang rajin ke warung kopi.

Saya bukan peramal, tapi cobalah pikirkan baik-baik.

Achmad Fauzan Syaikhoni
Manusia setengah matang, yang sedang fakir pengetahuan. Kalau mau menyumbang pengetahuan, bisa kirim lewat Instagram saya @zann_sy