Benarkah Bakat Termasuk Bawaan Lahir?

Pok Rie on Pexels

Penulis:        Nurul Fatin Sazanah
Editor:          Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Sebagian besar orang menganggap bahwa bakat adalah keahlian yang dimiliki manusia sejak lahir. Misalnya, ketika ada seseorang yang berbakat melukis, kebanyakan orang akan melabeli kemampuan tersebut sebagai bawaan lahir, seakan ia memang terlahir satu paket dengan keahlian melukis. Begitupun dengan bakat menulis, menyanyi, dan lain sebagainya.

Jujur saja, aku kurang setuju dengan cara memaknai bakat yang seperti itu. Kalau bakat benar-benar bawaan lahir manusia, memangnya Vincent Van Gogh langsung jago melukis sejak ia baru lahir? Apakah J.K. Rowling yang karya novelnya terkenal hingga berbagai negara itu memang sudah bisa mengarang sejak ia lahir? Apakah Justin Bieber sudah bisa menyanyi dengan bagus sejak ia dilahirkan? Tentu aja, jawabannya TIDAK.

Cara kerja bakat sesungguhnya tidak sesederhana itu. Bakat tidak dikemas sejak lahir. Pemaknaan tentang bakat yang seperti itu masih terlalu sempit, padahal makna bakat sebenarnya lebih dalam daripada itu.

Dean Keith Simonton (Distinguished Professor of Psychology University of California, Davis) berpendapat bahwa bakat tidak dibawa sejak lahir, melainkan lebih cocok disebut sebagai hasil pengembangan dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh gen atau karakteristik pribadi serta lingkungan.

Ia menyatakan, “Talent is best thought of as any package of personal characteristics that accelerates the acquisition of expertise or enhances performance given a certain amount of expertise.” Maksudnya adalah bahwa bakat sebaiknya dianggap sebagai paket karakteristik pribadi yang membantu seseorang memperoleh keahlian atau meningkatkan kinerja dengan cepat.

Jadi, ketika seseorang dianggap berbakat dalam melukis, maknanya bukan berarti dia langsung bisa memegang kuas dan pandai menggoreskan cat pada kanvas ketika baru lahir. Bukan berarti dia terlahir langsung hebat dalam melukis. Tetapi, ia terlahir dengan kemampuan memahami warna dan visual dengan baik, serta imajinasi tinggi. Kemampuan inilah yang disebut ‘paket karakteristik’ oleh Dean Keith Simonton. ‘Paket’ tersebut membuat seseorang seakan memang terlahir menjadi pelukis, atau bahkan ditakdirkan sebagai pelukis. Padahal, hal itu hanyalah titik awal yang memudahkan ia dalam belajar melukis, yang membuatnya bisa melukis lebih baik daripada yang lain. Sedangkan yang menjadikannya ahli adalah latihan secara konsisten dan kerja keras.

Di sisi lain, bakat erat kaitannya dengan minat atau kecenderungan seseorang. Misalnya, seseorang yang suka menulis, ditambah dengan kemampuan imajinasinya yang bagus, maka ia bisa mempelajari metode-metode menulis dengan mudah. Sehingga, pada titik tertentu ia mampu mengasilkan karya puisi atau cerita fiksi yang menarik dan mendapat label ‘berbakat’ dalam menulis.

Lain lagi ketika seseorang tidak suka menggambar. Meskipun ia punya kemampuan visual atau imajinasi yang bagus, dirinya akan sulit belajar menggambar, karena memang sejak awal sudah tidak minat.

Dari pembahasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa bakat tidak mutlak ada sejak lahir. Bakat tumbuh dari potensi atau karakteristik bawaan seseorang yang sejalan dengan minat atau kesukaan. Dari gabungan hal tersebut, apabila dilakukan secara konsisten dan dipelajari sungguh-sungguh, maka akan menjadi mahir.

Lalu, bagaimana kita kalau nggak tau potensi kita? atau nggak tau minat kita? Apakah artinya nggak akan punya bakat?

Perlu diingat bahwa bakat tidak sesederhana itu dan pemaknaan bakat tidak sesempit itu. Bakat bisa dipelajari dan bisa dibentuk karena bakat hadir dipengaruhi oleh banyak hal. Kamu perlu lebih mengenal diri sendiri dan tetaplah mencoba banyak hal. Dari sana mungkin akan tampak potensimu yang sebenarnya dan apa yang sesungguhnya kamu minati, hingga kemudian kamu bisa menyebut dirimu berbakat pada bidang itu. Namun, ada satu hal yang juga perlu diingat perihal bakat, yaitu kerja keras dan bakat saling melengkapi. Seseorang harus berlatih dengan untuk bisa menjadi orang yang berbakat.

Nurul Fatin Sazanah

Hobi menghayal, menggambar, dan menulis.