Budaya Pejabat Daerah yang Kadang Bikin Geleng-Geleng Kepala

Realita Rakyat

Penulis:            Budi Prathama
Editor:              Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Dapat menjadi pejabat negara kerap kali menjadi kebanggaan banyak orang. Siapa sih yang nggak mau digaji oleh negara, memakai fasilitas negara, dan terlebih tidak bekerja dengan memikul barang-barang berat yang diterpa sinar matahari..

Sejatinya menjadi pejabat negara adalah tanggung jawab moral, bekerja di atas undang-undang dan sikap pelayan masyarakat mesti tertanam baik pada setiap pejabat negara. Itu secara prinsip dan memang tertuang dalam lembaran-lembaran administrasi negara. Tapi, apakah benar begitu faktanya? Apakah betul semua pejabat negara (termasuk pejabat daerah) melaksanakan tugas dan kewajibannya secara baik? Menjawab ini tentu masih perlu pengkajian dan penelaan secara bersama.

Pejabat negara bukanlah dewa yang segala tindak lakunya dianggap benar, meskipun ia adalah pimpinan pada sebuah instansi pemerintah. Alih-alih demikian, nyatanya nggak sedikit juga pejabat, khususnya di daerah, mereka justru berperilaku buruk. Mereka nggak bisa membedakan mana tugas negara dan mana urusan peribadi, semua campur aduk dan kerap menjadi budaya yang buruk. Mengaktualisasikan budaya buruk apalagi seorang pemimpin instansi pemerintahan jelas hanya akan memperburuk sistem pemerintahan kita.

Belajar dari berbagai sumber dan survey kecil-kecilan, berikut ini beberapa budaya buruk pejabat daerah yang kadang dianggap sepele, tapi nyatanya merugikan juga lho.

1. Jam karet

Bukan rahasia lagi kalau jam karet di Indonesia itu marak terjadi, tak terkecuali juga di lingkup pemerintahan, termasuk para pejabat daerah. Maksud saya bukan jam karet ke kantor, karena itu ada absensi digital di kantor yang memang disediakan. Apabila telat tentu ada teguran dan terbaca melalui sistem. Tetapi jam karetnya pejabat ketika ingin menghadiri kegiatan. Memang nggak semua seperti itu, sih.

Dulu waktu menjadi mahasiswa, saat mengundang pejabat untuk menghadiri kegiatan atau menjadi pemateri kerap kali mereka memakai jam karet. Bahkan biasamya nanti selesai pembukaan kegiatan, mereka baru tiba dalam acara tersebut, telat dua tiga menit gak jadi soal, tapi ada yang biasa telat sampai satu jam. Jika kondisi seperti ini terus dirawat, maka tidak menutup kemungkinan budaya jam karet di Indonesia makin ketat pula.

2. Urusan pribadi dan kantor campur aduk

Nggak jarang juga para pejabat sering mencampuradukan urusan pribadi dan kantor, tentu kondisi ini bisa bikin kesal bagi yang terlibat dalam urusan tersebut. Tentu pekerjaan kantor nggak akan semulus dijalankan jika urusan-urusan pribadi dibawa-bawa ke kantor, karena bisa jadi bukan hanya satu dua orang bisa kena’ tapi urusannya bisa jadi berkepanjangan. Parahnya jika dengan dalih urusan pribadi justru mengabaikan urusan kantor, jelas kondisi ini mempengaruhi reputasi kantor.

3. Menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi

Telah diketahui bersama kalau pejabat itu difasilitasi negara, termasuk dengan adanya mobil dinas. Tapi nggak sedikit para pejabat menggunakan fasilitas kantor tersebut untuk kepentingan pribadi mereka, bukan urusan kantor.

Mungkin dugaan saya yang salah, kalau ada beberapa pejabat negara ketika mau bepergian yang bukan urusan kantor selalu memakai kendaraan dinas, semoga saja saya yang salah ya. Selain itu, bensinnya pun ikut diambil dari uang kantor. Kok bisa-bisanya begitu ya, apakah ini bukan termasuk korupsi?

Kondisi ini memang sulit dideteksi lembaga hukum kalau itu termasuk perbuatan korupsi dan jumlahnya memang terbilang kecil, tetapi jika ini terus dilakukan lama-kelamaan akan besar juga jika dikalkulasikan.

4. Mempersulit birokrasi yang mudah

Meski sering diagung-agungkan agar urusan birokrasi itu dipermudah, tapi nyatanya tidak juga hal demikian teralisasikan terutama birokrasi di tataran rendah. Faktor utama birokrasi sulit di tataran rendah karena masih ada pimpinan yang tidak suka pada individu tertentu. Ketika sikap pimpinan yang tidak suka pada individu tertentu dalam suatu kantor jelas urusan mereka akan dipersulit, dan birokrasi pun ikut sulit. Sehingga bisa saja terjadi lambatnya kenaikan pangkat seseorang dan sering kali terjadi yang namanya mutasi.

Kondisi inilah yang bisa memperburuk birokrasi di tataran rendah, nyatanya masih banyak pejabat atau pimpinan yang mengeluarkan kebijakan bukan landasan objektif, melainkan dengan landasan subjektif yang berujung pada kepentingan pribadi. Bagaimana bisa maju birokrasi kita kalau sikap pejabat di tingkat bawah masih begini.

Sikap buruk para pejabat daerah seperti di atas jelas akan memperburuk keadaan saja, meskipun hanya segelintir orang saja yang melakukan. Tapi sejatinya sebagai pejabat negara sangatlah tidak patut melakukan budaya seperti di atas, kondisi ini perlu untuk direformasi dan dievaluasi oleh pejabat yang di atasnya, mengingat budaya seperti ini kerap kali disepelekan dan dianggap biasa-biasa saja.

Budi Prathama
Pemuda yang dilahirkan di tanah Mandar dan berkesempatan menjadi alumni mahasiswa jurusan Matematika, namun lebih suka nulis lepas sambil minum kopi, bisa ngobrol di instagram @budi.prathama