Generasi Stroberi: Senggol Dikit Mengkerut, Tapi Enggak Mau Mengubah Diri

Pixabay on Pexels

Penulis:        Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor:          Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - “Kebanyakan orang itu gampang menyalah-nyalahkan, tapi nggak mau mengerti latar belakang kenapa seseorang sampai melakukannya”

Penggalan kalimat tersebut kiranya kerap kita temui di story/instastory kawan-kawan muda ataupun ungkapan seseorang ketika sedang curhat. Apakah salah? Tentu saja tidak pada satu sudut pandang. Tapi pada sudut pandang lainnya, kadang kalimat itu bukan membuat seseorang jadi tumbuh dan berkembang, melainkan justru jadi congkak. Sebab, kalimat itu bagi saya di titik tertentu bisa dijadikan pembelaan atas perilaku yang sebenarnya salah.

Seperti yang saya alami akhir-akhir ini ketika bercakap-cakap dengan kawan dekat saya (pacar maksudnya). Percakapan itu diawali dengan hubungan kita sama salah satu dosen yang mengajak untuk ngerjain projek buku. Yah seperti halnya tugas kuliah biasa, dalam pengerjaan projek buku tentu dikasih deadline. Nah, di antara kita, yang udah selesai cuma saya. Dia belum selesai, bahkan dia masih berkutat di kerangka penulisan aja.

Saya kemudian dipanggil sama sang dosen untuk berbincang di ruangannya terkait projek buku. Sang dosen tanya ke saya, “kenapa dia belum selesai? Padahal kan, udah beberapa bulan saya kasih deadline”. “Itu Pak, dia katanya sibuk sama organisasinya, jadi katanya nggak sempet buat ngerjain tulisannya”, jawab saya. Sang dosen nggak begitu marah, bahkan ngangguk-ngangguk sambil berucap, “itu ya, dia masih labil ya kayaknya”. Saya jawab dengan ke-hati-hatian, dong, “hehe…. Mungkin, Pak”. Dari sinilah permasalahan terjadi.

Ketika saya cerita ke dia (kawan dekat saya) terkait serangkaian perbincangan dengan sang dosen, awal-awal dia biasa aja. Sampai kemudian di titik ucapan sang dosen yang menyangkut kata “labil”, dia perlahan meneteskan air mata sembari jengkel pada saya. Dia jengkel karena saya nggak membelanya, dia membela diri dengan dalih bahwa dirinya udah berusaha maksimal buat ngerjain dan menyisihkan waktu dari kegiatan organisasi. Dia nggak terima kalau dibilang labil, sebab katanya, “nggak bisa orang itu mengatakan sepihak tanpa tahu latar belakang kenapa seseorang sampai melakukan hal demikian”. Hash!!!

Dipahami memang perlu, tapi sadar diri jauh lebih penting
Dari sikap kawan dekat saya itu, saya kemudian teringat dengan salah satu neologisme Tionghoa yang menggambarkan masyarakat Taiwan yang ‘gampang mengkerut’ seperti buah stroberi. Iya, istilah itu yang melatarbelakangi istilah “generasi stroberi”. Di mana generasi yang kesenggol dikit, langsung sakit hati, gampang tersinggung, atau kata Marissa Meditania, seorang psikolog asal Indonesia, “generasi yang nggak punya ressiliensi; nggak punya ketahanan mental untuk mengevaluasi dan membenahi kesalahannya”.

Dalam konteks kawan dekat saya tadi, sejujurnya saya sudah sangat memahami betapa sakitnya memang dibilang “labil”. Tapi satu hal yang ngebuat saya nggak membela dia, adalah karena dia itu nggak sadar diri, anjir! Kan, nggak mungkin ya, beberapa bulan itu kegiatan organisasi berselang sampai tiap hari.

Sebagai kawan dekat, saya itu paham betul kegiatan sehari-hari dia ketika nggak ada kegiatan organisasi; kadang dihabiskan di twitter untuk sekadar ketawa-ketiwi, kalau nggak gitu lihat reels di Instagram hingga malam hari. Gimana nggak labil coba?

Saya juga sedikit nangkep, bahwa yang dimaksud “labil” oleh sang dosen adalah inkonsistensi dan nggak adanya rasa bertanggung jawab. Karena kalau di awal udah memutuskan mau mengerjakan projek buku, maka mustinya dia paham bahwa dirinya harus tetap mengerjakannya kendati ada kegiatan organisasi. Nggak peduli seberapa capeknya atau padetnya waktu buat ngerjain projek buku. Lha wong di awal udah memutuskan, ya harus wani tanggung jawab, dong!

Di samping itu, sempet juga saya berucap, “udah, nggak apa-apa, emang fase kita ini fase-fase labil, kok”. Tapi dia nggak terima, dan semakin meluap-luap seraya berkata, “Nggak! nggak bisa gitu, aku ini punya banyak masalah, nggak cuma di kampus aja, dosen itu harusnya mikir sebelum ngatain kayak gitu”. Saat itu saya nggak menjawabnya lagi, melainkan bertanya dengan agak teoretis, “iya, okey, kalau gitu tunjukkan ke aku di mana letak kamu nggak labil? Atau apa sebenarnya yang disebut labil menurut versimu?”. Dia cuma diem, dengan tetap berlagak kecewa alih-alih nggak tahu jawabannya.

Dari situ akhirnya saya menyimpulkan, bahwa memang benar seseorang itu harus dipahami. Tapi ketika sudah dipahami, bukan berarti ucapan-ucapan nasehat atau pengingat itu dianggap sebagai sesuatu yang toxic, dong! Kalau anak muda pengennya dipahami tapi nggak mau diingatkan dan berbenah, terus apa bedanya sama para lansia yang jadi politisi?

Dunia akan kacau kalau semua orang cuma pengen dipahami
Sekarang, bayangkan jika semua orang pengen dipahami. Misalnya saja para politisi yang korupsi. Mereka juga punya latar belakang yang amat ketat sehingga mengharuskan dirinya korupsi. Nggak mungkin kita membiarkan mereka mencuri kendatipun dengan alasan-alasan yang manusiawi. Atau, seorang teroris, mereka bahkan punya latar belakang yang pelik sehingga mereka percaya doktrin akan adanya pahala berkali-kali lipat meski telah membunuh diri sendiri dan orang lain.

Banyak sekali hal-hal yang nggak bisa ditempatkan pada keinginan untuk ‘dipahami’. Apalagi menyangkut usia muda, kita ini punya kebebasan untuk menjadi apapun ke depannya. Kalau mau ngapa-ngapain terhalang karena ada latar belakang hidup kita yang seolah nggak selaras, yah gimana kita mau bertumbuh dan berkembang?

Mau jadi penulis, tapi terhalang karena minder tulisannya pernah dikritik; mau jadi pengusaha, tapi terhalang karena nggak punya duit buat modal. Begitu banyak sebenarnya hal-hal yang ‘mungkin’ untuk dilakukan menuju keinginan-keinginan semacam itu. Hanya saja, bisa nggak menahan diri dan berdarah-darah memperjuangkan keinginan itu?

Saya pikir, selagi masih hidup dan bisa berpikir, bisa saja kalau kawan-kawan muda ini nggak menyamakan kenyataan hidup dengan kenyataan di dunia maya yang serba cepat dan praktis. Terlebih lagi, menghilangkan sifat congkak yang selalu pengen dipahami tapi nggak mau mengubah diri.

Achmad Fauzan Syaikhoni
Manusia setengah matang, yang sedang fakir pengetahuan. Kalau mau menyumbang pengetahuan, bisa kirim lewat Instagram saya @zann_sy