Khotbah Cangkem Elek: Agama Pasar
![]() |
Photo by Prabhala Raghuvir on Pexels |
Penulis: Fatio Nurul Efendi
Cangkeman.net - Sebagai seorang yang hidupnya berpindah-pindah sedari kecil, pemahaman saya tentang agama juga terkadang melompat-lompat. Bukan hanya tentang agama yang saya anut sejak kecil, beberapa agama lain juga kerap saya pelajari dan bahkan seringkali mengambil hal-hal yang masuk dengan logika saya, dari agama-agama tersebut.
Maka tidak heran jika sepanjang hidup saya penuh dengan kedinamisan yang terkadang sangat ekstrem tentang beragama. Saya pernah menjadi orang mati-matian membela tahlilan untuk orang meninggal, pernah menjadi orang yang sangat fanatik terhadap wirid setelah salat, namun tak lama pernah juga anti tahlilan karena berbagai hal. Urusan merokok juga, yang kini saya identik dengannya karena setiap orang bertemu saya, saya selalu kebal-kebul itu pernah saya haramkan. Bahkan jejak digital saya di facebook masih ada ketika saya takbir pada 1 Ramadan ketika ISIS diproklamirkan oleh Imamnya.
Sampai saat ini sebenarnya saya tidak benar-benar tau apa agama yang benar untuk saya. Walaupun di titik sekarang pasti menganggap apa yang saya anut adalah yang paling ideal, tapi toh dulu juga saya berpikiran demikian.
Dari pergolakan-pergolakan saya dengan agama, sebenarnya ada andil yang cukup besar dari guru-guru saya atau seseorang yang saya anggap guru dalam beragama di hidup saya. Selain itu, usia serta kondisi lingkungan juga terus mengubah gaya saya beragama.
Dari hal itu saya akhirnya menyadari, bahwa sebenarnya setiap ajaran, setiap agama, setiap aliran, setiap madhzab pasti ada pangsa pasarnya sendiri. Contoh untuk gaya beragama yang menonjolkan keselarasan dengan budaya dan bahkan menonjolkan kebudayaanya adalah pangsa pasar yang cocok untuk masyarakat pedesaaan yang sering guyub. Untuk agama yang menonjolkan intelektualisme cocok untuk anak-anak muda perkotaan, khususnya di kampus-kampus dan untuk agama yang menonjolkan perlawanan terhadap ajaran lain yang dianggap menyimpang itu cocok untuk anak-anak muda serta generasi sepuh yang dikecewakan oleh keadaan. Yah meski spektrumnya lebih lebar lagi, tidak serta merta yang saya contohkan.
Dari situ saya menilai akhirnya agama menjadi semacam komuditas, semacam alat untuk berjualan. Para agamawan akan sibuk untuk menjajakan dagangannya seperti pedagang. Yang namanya pedagang itu mengikuti selera pasar, kalau pasar lagi laris ini, gaya beragamanya jadi begini, kalau pasar laris begitu, gayanya begitu. Lalu yang namanya pedagang terkadang saling menjatuhkan antar pedagang. Tujuanya tentu agar dagangannya lebih laris dari pedagang lainnya. Nah, agamawan juga akhirnya seperti itu. Mengharamkan kajian ini, membidahkan aliran itu, serta meradilkan madzhab tertentu.
Agama yang menurut saya seharusnya dipelajari untuk kepentingan hidup bersama untuk umat manusia, malah menjadi alat jualan yang menimbulkan persaingan hingga dapat saling bunuh-bunuhan. Sungguh keterbalikan yang sangat nyata.
Akhirnya kita beragama seperti di pasar. Para agamawan saling berjualan, sementara awam saling riweh di tengah-tengahnya. Akhirnya timbul monopoli beragama, seolah tanpa melalui agamawan-agamawan tadi, orang tidak dapat beragama. Setiap agamawan men-sounding-kan ajarannya dan hanya dirilah yang dapat menuntun orang-orang ke arah Tuhan.
Sementara orang-orang hanya bisa membebek tanpa pernah benar-benar mencari Tuhannya karena yang ,mereka tau, mereka hanyalah awam, tak akan sampai pada Tuhannya. Padahal menurut saya, setiap orang siapapun itu berhak mencari Tuhannya sendiri. Mau lewat jalur manapun, seorang pencari akan bertemu yang dicari. Toh bukankah Tuhan bilang di surat Qaf ayat 16, bahwa Ia lebih dekat dari urat nadi? Lalu mengapa orang tidak boleh mencari Tuhannya sendiri yang ternyata paling dekat dan bahkan lebih dekat antara dia dan Tuhannya daripada dia dengan agamawan yang dipercayai?
Kita seakan-akan ditakut-takuti kalau kita belajar agama sendiri nanti kita tersesat. Tapi menurut saya, toh memang kita semua ini tersesat dan memang kodratnya hamba yah tersesat, maka dari itu Tuhan memerintahkan kita selalu meminta pada-Nya agar ditunjukkan jalan yang lurus. Bagi saya tersesat dalam mencari Tuhan itu enggak masalah, dengan hati yang bersih serta visi yang baik untuk semesta, maka seberapa jauh kita tersesat, akhirnya ketemu Tuhan juga.
Tapi bukan berarti saya ingin menjauhkan diri dari para agamawan, bukan seperti itu. Yang saya tekankan adalah perlunya pemikiran yang independen dalam mencari Tuhan, dalam beragama. Mau dengan cara mengikuti agamawa a atau agamawan b itu bebas-bebas saja. Yang terpenting kita harus tau, kita cocoknya jadi apa dengan koindisi kita. Jangan mau kita didekte dan dijadikan barang dagangan para orang-orang yang mengaku punya otorisasi khusus dengan Tuhan.

Posting Komentar