Khotbah Cangkem Elek: Idul Adha dan Perbedaan

Sonora

Penulis:        Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Di Indonesia, setiap akan menghadapi hari-hari besar Islam, pasti ada saja keributan tentang perbedaan penetapan hari, sinkronisasi antara tanggalan Hijriyah dan tanggalan Masehi. Bedanya metode yang digunakan, tafsiran yang digunakan, tentu menjadi akar dari perbedaan-perbedaan tersebut.

Namun sebenarnya, kalau bicara tentang hari raya umat Islam, khususnya hari raya yang sebentar lagi kita rayakan ini, yaitu Idul Adha, perbedaan di tubuh umat Islam dunia sejak lama berbeda juga tentang pandangan siapa yang sebenarnya diperintahkan Allah untuk disembelih, Ismail atau Ishak.

Meski "Kubu Ishak" termasuk minoritas di kalangan dunia Islam, namun tetap saja pendapat mereka tidaklah boleh dianggap pendapat yang asal-asalan. Para sahabat Nabi sendiri beberapa termasuk dalam kubu ini, seperti Umar bin Al-Khattab, Jabir, Ka'ab al-Akhbar, Al-Abbas. Serta dari kalangan Tabiin juga ada beberapa nama yang cukup terkenal dalam dunia Islam, seperti, Qtadah, Malik  bin Anas, Ikrimah, Masruq, Muqatil, Az-Zuhri, dan As-Suddi. (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsîrul Munîr, juz XXII, halaman 126).

Jadi sebenarnya, dari mulai para sahabat sendiri memang sudah ada banyak perbedaan dalam menafsirkan suatu hal. Tapi apakah mereka kelahi untuk membenarkan pendapatnya sendiri? Yah tentu saja tidak. Paling banter yah beradu argumen, diskusi, lalu kalau enggak menemukan kesepakatan yaudah biarin, biar benarku jadi benarku, benarmu jadi benarmu.

Makanya saya rada aneh ketika ada yang mempermasalahkan perbedaan hari dalam menentukan hari raya. Wong dari jaman sahabat nabi aja kita udah banyak perbedaan yah santai-santai saja. Memang sih ada dalil kalau kita diwajibkan mengikuti Ulil Amri. Tapi masalahnya, untuk menentukan Ulil Amri saja kan tafsiran kita berbeda. Yah karena memang waktu dan kondisi kita juga berbeda saat "dalil Ulil Amri" itu muncul. Jadi yah pasti akan banyak penyesuaian di sana-sini.

Kita mungkin bisa aja membuat suatu kesepakatan bersama seluruh umat Islam di Indonesia atau di dunia untuk satu tafsir tunggal. Tapi apakah hal itu akan berjalan lancar-lancar saja? Menurut saya tidak.

Bagi saya, pemaksaan penyeragaman dalam beragama itu tidak akan bisa bertahan lama. Hal-hal yang sifatnya dipaksakan juga enggak sehat, walaupun itu tujuannya baik, untuk persatuan umat, misalkan.

Saya teringat pernah membaca sebuah buku yang di situ membahas tentang seseorang yang bertanya kepada Gus Dur, inti pertanyaan itu mempertanyakan kenapa Gus Dur tidak bergabung ke ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) yang padahal waktu itu Gus Dur menjabat sebagai ketua Tanfidziyah NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Gus Dur malah bergabung dengan Forum Demokrasi yang dinilai dekat dengan kaum abangan. Gus Dur dianggap tidak mendukung persatuan umat Islam Indonesia.

Lalu apa jawaban Gus Dur dituduh demikian?

Gus Dur menjawab intinya begini, -kalimat aslinya saya tidak hapal-, "Yasudah kalau umat Islam Indonesia enggak bersatu yah enggak masalah. Masa bersatu dipaksa-paksa." 

Pointnya adalah, persatuan yang kekal adalah persatuan yang lahir karena kesungguhan hati, bukan karena biar keliatan kompak aja, keliatan bersatu aja, padahal dalam satu meja juga tengkar habis-habisan.

Sudahlah, lagipula bagi saya beragama itu esensinya membuat kita bahagia. Beragama adalah bekal dari Tuhan untuk kita manusia sebagai penghuni bumi. Hal-hal non esensial yang meributkan perkara lebaran hari apa, wukuf ikut siapa dllnya tidak perlu menjadi polemik. Boleh saja diperdebatkan sebagai khazanah keilmuan, tapi menjelek-jelekkan hingga bahkan melabeli pihak lain dengan hal buruk hanya karena berbeda penentuan salat ied itu sangat picik.

Lagi-lagi seperti kata Gus Dur, kali ini ketika ditanya yang dikurbankan Ismail atau Ishak. Gus Dur menjawab, "Wong nggak ada yang disemeblih, ngapain diributin."

Itu....!!!

Poinya bukan Ismail atau Ishak, lebaran tanggal sekian atau sekian, puasa sunnahnya kapan, bukan itu. Poinnya itu tentang kurbannya, tentang ibadahnya, tentang nilai-nilainya. Kalau kita beragama sudah pada taraf nilai-nilainya bagaimanapun tafsiran cara menjalankannya, saya yakin betul kalau peradaban kita dalam beragama jauh lebih baik, jauh lebih maju. Saya orang yang percaya agama adalah hal terkuat untuk membangun peradaban, asal dijalankjan berdasarkan hal-hal yang esensial.