Khotbah Cangkem Elek: Tentang Haji dan Kurban

Photo by Haydan As-soendawy on Pexels

Penulis:            Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Kemarin baru saja kita selesai melakukan salah satu perayaan, yakni ibadah haji dan juga ibadah kurban. Ibadah yang melegitimasi kanjeng Rasul Muhammad bahwa beliau adalah pengikut Nabi Allah Ibrahim. Adat dan istiadat Nabi Ibrahim berhasil Nabi Muhammad inplementasikan.

Meski dewaasa ini banyak sekali keriuhan untuk menafsirkan ulang tentang ayat-ayat kurban karena dianggap Tuhan tidaklah Tuhan sekali ketika Dia malah meminta kurban anak seorang kekasihnya untuk dirinya. Yang menyebabkan Tuhan di sini seolah-olah butuh "sesajen" berupa anak manusia.

Orang-orang yang coba menafsirkan ulang ini tidak main-main dalam niatnya menafsirkan ulang. Penafsiran-penafsiran ulang menurut mereka sangat penting untuk pencarian makna dalam menjalankan syariat-syariat.

Begitu juga dengan berhaji. Sejak disyariatkan, telah banyak ijtihad yang muncul terkait berhaji. Dari segi administratif hingga tata caranya yang disesuaikan dengan kondisi serta keadaan saat ini.

Bagi saya hal-hal apapun yang sifatnya untuk kebaikan sah-sah saja, tapi perlu diingat, ditirukannya Nabi Ibrahim oleh Kanjeng Rasul Muhammad, baik pada ibadah haji maupun kurban, saya merasa kalau Kanjeng Rasul ingin mengajari kita agar kita tidak melupakan pendahulu-pendahulu kita, kita tetap harus menapaki hal-hal yang lalu, menapaki jalur-jalur Hajar, melewati jejak-jejak Ismail, menyelami Ishak hingga mengikuti Ibrahim.

Tentu kita memang tidak boleh terlalu hanyut pada masa lalu, namun napak tilas pendahulu kita bukanlah menghanyut pada masa lalu. Mengenang perjalanan para pendahulu adalah pondasi untuk menciptakan generasi masa depan. Bagaimanapun asalnya sekarang adalah dulu, hari ini adalah anak dari kemarin, kemarin anak dari lusa, dst.

Saya menilai jika hal-hal begini diterapkan pada aspek yang lebih luas, kita akan lebih maju dalam beberapa hal. Seperti kita misal mendalami bidang IT, pendahulu IT adalah Matematika, maka ketika kita mendalami IT, kita harus juga napak tilas ke Matematika, karena dasarnya memang dari sana.

Dalam hal bernegara juga bisa diterapkan demikian. Kita sering ribut segala macam, kita kadang tidak lihat ke belakang sebenarnya apa sih tujuan kita itu? Apa maunya pendiri bangsa ini? Apakah masih relevan? Apa yang perlu dirubah dan diterapkan?

Kita mungkin terlalu bersamangat dalam banyak hal untuk menuju masa depan, saking semangatnya kadang kita lupa kita itu siapa, kita lupa berasal dari mana, sehingga kadang kecepatan kita tidak terkontrol, menabrak sana-sini dan bahkan bisa menciderai orang lain.

Idul Adha seharusnya menjadi renungan, cerminan, menatap masa lalu, untuk bekal menapaki masa depan.