Kisah Perjalanan Sheikh Mansoer Menjadikan Manchester City Raja Eropa

Indozone

Penulis:            Fauzan Ibn Hasbby
Editor:              Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Penantian panjang Manchester City bersama Pep Guardiola akhirnya tuntas pada laga final melawan Inter Milan.

Manchester City sukses memenangkan gelar pertamanya sepanjang sejarah klub di UEFA Champions League (UCL). Kemenangan itu dipastikan setelah Manchester City berhasil membekuk lawannya, Inter Milan dengan skor 1-0, di Istanbul, Turki.

Kemenangan pertama bagi The Cityzen ini sekaligus merampungkan treble winner yang mereka incar. Total 3 buah trofi serta gelar telah mereka kumpulkan pada musim ini. Gelar tersebut mencakup gelar Liga Inggris yang mereka dapatkan dengan cukup susah payah dengan menyalip Arsenal di akhir musim, kemudian gelar FA Cup yang juga sukses mereka bawa pulang dengan mengandaskan rival sekota, Manchester United dengan skor 2-1. Satu minggu berselang, barulah mereka menyelesaikan misi treble winner tersebut dengan memenangkan pertandingan final di UEFA Champions League melawan Inter Milan.

Kemenangan ini merupakan kemenangan yang sangat berarti bagi Manchester biru. Kemenangan ini pula merupakan kemenangan hebat yang akan selalu diingat seluruh insan sepak bola dunia. Melalui kemenangan ini pula, keseriusan, tekad, serta perjuangan dan finansial yang cukup menjadi bukti bahwa gelar paling bergengsi bisa benar-benar diwujudkan.

Cerita bermula ketika Manchester City yang dikenal tim tanpa sejarah tersebut menjadi yang pertama sebagai tim yang dibeli oleh pengusaha dari timur tengah. Tepat pada tahun 2008, Sheikh Mansour bin Zayed resmi membeli City dari tangan Thaksin Shinawatra.

Sheikh Mansour membeli Manchester City dengan nilai 200 juta poundsterling. Dirinya juga akhirnya mulai dikenal banyak orang setelah diketahui merupakan pemilik Abu Dhabi United Group, sebuah perusahaan keuangan swasta yang cukup terkenal di daratan jazirah Arab.

Sejak awal, Sheikh Mansour yang menggelontorkan dana senilai Rp. 2 triliun itu langsung menggeliat membeli pemain-pemain mahal kelas wahid pada masanya. Sebut saja seperti Robinho yang dibeli dari Real Madrid seharga Rp. 751 miliar, Jo yang didatangkan dari CSK Moskow dengan harga Rp. 419 miliar, Wayne Bridge yang datang dari Chelsea dengan nilai Rp. 227 miliar, Vincent Kompany dari SV Hamburg dengan mahar Rp. 139 miliar, dan Nigel De Jong yang juga didatangkan dari SV Hamburg dengan harga Rp. 314 miliar.

Namun naas, Sheikh Mansour bersama City sebagai klub baru miliknya tersebut tak benar-benar berhasil berubah jadi tim papan atas. Dari sana, Sheikh Mansour terus berbenah mencari titik lemah yang perlu diperkuat Manchester City.

Sebab sebuah klub dalam sepak bola profesional bukan hanya mengurus tentang pemain bagus saja. Lebih dari itu, manajemen kepelatihan, tim scouting (pencari bakat), tim medis yang mumpuni, fasilitas klub (sarana dan prasarana klub), akademi, hingga visi bermain dan fans yang juga perlu diperhatikan sebuah klub.

Dengan begitu, semua aspek di atas merupakan hal-hal yang sangat perlu diperhatikan sebuah klub. Semua yang menjadi syarat di atas memerlukan resonansi dan harmonisasi agar pergerakan klub dalam segi kualitas terus meningkat.

Setelah itu kemudian baru dirinya menyadari bahwa pelatih merupakan hal fundamental bagi permainan tim. Maka Mark Hughes yang pada tahun tersebut (2008) membesut City dengan tanpa trofi satupun langsung diganti oleh pelatih kawakan, yakni Roberto Mancini.

Roberto Mancini sebagai pelatih yang memiliki track record yang cukup baik saat itu membuat Sheikh Mansour tertarik mendatangkannya sebagai pelatih The Cityzen. Alhasil, total hanya 3 trofi saja yang bisa diberikan Mancini bagi Manchester City.

3 trofi tersebut adalah 1 trofi Liga Premier Inggris, 1 trofi FA Cup, dan 1 trofi Community Shield. Sialnya, 3 trofi tersebut tak cukup bagi apa yang diminta Sheikh Mansour. Sebab Mancini menelurkan 3 trofi tersebut dengan waktu 3 musim lamanya.

Sempat kembali diganti oleh pelatih medioker setelah itu, yakni Brian Kidd. Sheikh Mansour tak mau berlama-lama untuk mempertahankannya. Satu tahun Kidd bertahan tanpa satupun trofi.

Di tahun 2013 Sheikh Mansour tak mau mengulang kesalahan yang sama. Maka dengan kembali mendatangkan pelatih kawakan dengan tentu memberikan semua pemain yang diinginkan pelatih tersebut adalah kunci baginya. Alhasil, Manuel Pellegrini didatangkan untuk mengisi kursi kepelatihan di sana.

Naas, lagi-lagi sekelas Pellegrini pun masih belum bisa merebut hati Sheikh Mansour. Total 3 musim hanya 3 trofi yang tak jauh berbeda dengan Mancini sebelumnya.

Menyadari akan hal itu, dirinya benar-benar membutuhkan sosok pelatih hebat yang kaya akan taktik. Serta tak hanya itu, pelatih tersebut bisa mempergunakan setiap pemain yang dibeli sesuai permintannya dengan harga mahal sekalipun, namun tetap bisa membawa prestasi bagi tim.

Maka pada tahun 2016, Pep Guardiola didaratkan. Hasilnya adalah 7 musim dengan total 11 gelar tak pernah absen mereka dapatkan setiap musimnya.

Di tengah perjalanan panjang bersama Sheikh Mansour, City terus menerus melakukan perbaikan yang serius. Pelatih yang terus menerus mereka incar dengan kualitas yang bagus. Pemain-pemain yang diinginkan pelatih untuk kebutuhan tim yang selalu mereka upayakan, hingga akademi yang semakin hari semakin terlihat hasilnya.

Melalui Pep, Sheikh Mansour sengaja menanamkan proses panjang serta keseriusannya membesut sebuah klub. Buktinya, gelar demi gelar konsisten mereka dapatkan. Hubungan antara dirinya dengan Pep pun jarang terdengar tak baik.

Sokongan dana serta dukungan moral serta tak terlalu banyak ikut campur dalam urusan taktik dan permainan adalah yang telah dilakukannya. The Cityzen benar-benar telah menjadi klub digdaya yang begitu ditakuti di dataran Eropa, bahkan dunia di 5 tahun terakhir.

Hebatnya, Sheikh Mansour yang tak hanya taunya beli-beli pemain saja ini tak pernah terlihat gengsi untuk mengganti pelatih. Sebab Pep tak benar-benar langsung sukses begitu saja.

Meski konsisten menelurkan gelar setiap musimnya, setiap tahunnya dengan sokongan dana segar, Pep juga diberikan target demi target yang meningkat.

Perjalanan mereka menjadi yang terbaik di Eropa saat ini dan memenangkan gelar paling bergengsi di dunia adalah proses panjang dari keseriusan pemilik klub. Sebab jika hanya soal uang, PSG dengan Sheikh Nasser Al-Khelaifi tak mampu berbuat banyak. Dia hanya tahu pamer untuk mendatangkan pemain-pemain mega bintang saja. Tanpa memperdulikan visi bermain, kualitas pelatih, akademi klub, dan lain sebagainya. Ditambah lagi, ikut campur urusan taktik dan kesabarannya dalam membangun tim tak bisa dilihat sebagai contoh yang baik.

Manchester City di tangan Pep dan Sheikh Mansour terus merangkak naik. Sejak kedatangan pep, sekitar 5 tahun sudah target UEFA Champions League dicanangkan. Sebab sebelumnya, gelar Liga Inggris dan beberapa piala domestik lainnya sudah tak terlalu aneh bagi The Cityzen.

Maka menjadi pemenang di Uefa Champions League adalah target yang terus ditancapkan Sheikh Mansour pada Pep.

Meski perjalanan mereka selalu begitu mulus di Liga, hingga Liga Inggris mulai dianggap liga petani sebab dominasi Manchester biru di 7 tahun terakhir. Namun faktanya mereka butuh waktu lebih lama untuk benar-benar jadi jawara di Eropa.

Sebab menjadi jawara di kancah Eropa perlu banyak hal. Tak hanya soal pemain, pelatih, atau dana saja. Tapi mental yang terus dibangun dengan menerapkan visi bermain yang efektif akan membawa tim pada tekad dan kekuatan untuk menang.

Pep bersama City selalu gagal di 6 tahun sebelumnya. Bahkan mereka nyaris memenangkan gelar Champions League di tahun 2021. Namun naas, layaknya dejavu mereka dikalahkan oleh tim yang sama sekali tak diunggulkan saat itu, Chelsea.

Karena saat itu, Manchester City benar-benar belum siap. Soliditas antar lini, kekuatan lini depan dan lini belakang dan visi bermain masih belum benar-benar memiliki pakem. Maka saat kunci permainan dimatikan, City pun ikut mati.

Hal itu sebagaimana yang dilakukan Chelsea ketika mencederai De Bruyne di final tahun itu. Dan hal yang sama juga dilakukan Inter pada laga final musim ini. Namun karena mental Manchester City telah terbangun dari kekalahan beruntun setiap tahun sebelumnya, kedalaman skuad telah rampung, lini depan dan lini belakang juga solid. Maka kehilangan pemain kunci satu orang bukan jadi masalah saat ini bagi mereka.

Urusan mental yang kini telah dimiliki, dulunya benar-benar jadi bahan ejekan bagi The Cityzen. Tahun sebelumnya dan setelahnya, City selalu kalah oleh Real Madrid. Mereka benar-benar dapat dijegal dengan mudah. Bak senior dan junior, City benar-benar selalu kesusahan menumbangkan raja Eropa tersebut. Padahal mereka tengah dalam performa bagus di liga.


Namun, tahun ini adalah hasil dari proses perjuangan panjang mereka. Akademi yang semakin hari semakin banyak menelurkan pemain hebat seperti Foden. Gelontoran dana yang tak berhamburan tak jelas juga membuat mereka efektif menjadi sebuah klub besar. Kedatangan Haaland dan Jack Grealish tahun lalu menjadi kepingan puzzle yang mahal. Meski mahal, tapi benar-benar kepingan yang pas.

Sheikh Mansour dan Manchester City kini resmi menjadi klub dan pemilik klub sepak bola yang seutuhnya. Bukan hanya sekedar orang kaya yang menghambur-hamburkan uang di lapangan sepak bola.

Fauzan Ibn Hasby

Pengen jadi Fabrizio Romano!