Memperdebatkan Kata-Kata Bijak
![]() |
Anny Patterson on Pexels |
Penulis: Afiqul Adib
Editor: Fatio Nurul Efendi
Cangkeman.net - Sejujurnya, saya bukan tipe orang yang suka berdebat secara langsung. Saya hanya suka melihat kelucuan dan menertawakannya, kemudian mengulasnya di sebuah tulisan. Bagi saya debat melalui tulisan adalah hal yang menyenangkan. Sebab, kita bebas menyampaikan argumentasi secara menyeluruh, tanpa dipotong oleh sisi sebelah.
Oh, iya, di tulisan ini saya ingin membahas seputar kata-kata bijak yang sering dipakai oleh orang-orang dengan cukup bangga, dan yang menjadi titik lucunya adalah tidak sesuai tempatnya, atau malah beda pemaknaan.
Ya, saya sering melihat peristiwa demikian, seakan-akan kalau kalimat tersebut dianggap benar, maka semua kondisi akan dibenarkan jika menggunakan kalimat tersebut. Padahal teks harus disesuaikan dengan konteks agar maksud dan tujuannya tetap relevan.
Disclaimer, yang saya maksud bukan kalimat bijak yang bermasalah, melainkan penempatan dari kalimat tersebut, atau pemaknaan yang serampangan. Baiqlah, mari kita bahas!
#Pertama, Biarkan Anjing Menggonggong
Pribahasa tersebut secara mainstream diartikan dengan membiarkan orang lain berkata apapun tentang kita, cuek saja, tetap fokus berjalan pada karya.
Saking populernya kalimat ini, sampai diadaptasi menjadi lirik lagu, “biarlah orang berkata apa, yang penting aku bahagia… uwoo uwoooo”.
Sebenarnya maksud kalimat tersebut adalah baik, hanya saja sering disalahgunakan. Penempatan yang tidak semestinya membuat kalimat mutiara ini sangatlah berbahaya dan meresahkan. Misalnya ketika sedang melakukan kesalahan dan kemudian diingatkan, maka kalimat ini sering digunakan sebagai tameng untuk mengakui kesalahan.
Padahal bisa saja orang tersebut hanya ingin memberikan saran kepada kita agar lebih baik lagi. Kenapa kita menganggap orang yang ingin memberikan saran dengan sebutan ANJING?
Apakah pantas ketika ada orang yang menyalahi norma di masyarakat kemudian dingatkan namun malah marah-marah? Yah, sangat tidak etis saat ada orang yang mencoba memberikan nasihat kepada kita, malah kita menganggapnya anjing, yang dalam bahasa sehari-hari, konteks dari kata anjing adalah kata-kata umpatan. Tulung, Muhasabah diri Anda!
#Kedua, Husnuzan Saja
Masih ingatkah kalian dengan film Tilik yang sempat trending di jagat dunia maya? Salah satu yang menarik adalah ternyata sifat husnuzan Yuk Ning tidak selalu berakhir baik. Itu memang hanya sebuah film, namun film tersebut sangatlah merepresentasikan kondisi masyarakat kita saat ini.
Sering saya mendengar ketika ada suatu perkara yang buruk atau yang tidak wajar lalu pasti ada saja yang bilang, “husnuzan saja”.
Kata guru agama dulu, husnuzan itu akhlak yang terpuji, akhlak yang perlu dipraktekkan sehari-hari. Yah, memang seperti itu, saya pun tidak menyuruh Anda sekalian untuk tidak husnuzan, saya hanya mengatakan kalu husnuzan itu tidak harus selalu dilakukan.
Misalnya ada sepasang kekasih dengan status menikah (dibuktikan dengan ucapan SAH di depan penghulu). Mereka hanya tinggal berdua saja dalam satu rumah. Suatu ketika sang suami pulang kerja dan berniat memberikan kejutan kepada istrinya dengan masuk kamar secara diam-diam. Eh ndilalah pas membuka kamar, ada lelaki lain yang tidak memakai pakaian sedang berduaaan dengan istrinya.
Apakah sang suami harus husnuzon kalau pria tersebut adalah pegawai PLN? Atau berfikir bahwa mereka hanya sedang main kuda-kudaan saja?
Saya berikan ilustrasi lagi, misal suatu malam, di sebuah desa terlihat seseorang berbaju serba hitam, mulai dari celana, kaos, sampai penutup wajah berwarna hitam (sebut saja si Hitam).
Nah, si Hitam ini membawa karung besar dan sedang memasuki rumah seseorang melalui jendela. Kemudian si Hitam tadi keluar melalui cendela dengan menenteng televisi serta karungnya terisi penuh. Si hitam tadi keluar rumah dengan hati-hati dan tetap waspada kemudian melarikan diri dengan cepat.
Jika kita melihat si Hitam tersebut, apakah kita akan berpikir, “oh mungkin itu anaknya”, “paling sepupunya”, “selingkuhannya mungkin”. Whatever.
Maka dari itu husnuzan pun ada tempatnya. Tidak harus selalu husnuzan pada semua momen, ada kalanya kita juga harus curiga, apalagi Anda adalah petugas keamanan (polisi, hansip, dll).
#Ketiga, Ikuti Kata Hati!
Betapa seringnya kita mendengar istilah mengikuti kata hati. Lantas, apa salahnya mengikuti kata hati? Saya tidak mengatakan salah secara penuh, hanya saja, agaknya kurang bijak jika mengikuti kata hati yang selalu di bolak-balikan oleh Tuhan.
Coba kita sejenak menarik napas panjang dan berpikir. Apakah seorang yang melakukan tindakan pembunuhan tidak menggunakan kata hati? Apakah seseorang yang melakukan pencurian juga tidak menggunakan kata hati?
Walaupun kita sudah bertindak sesuai kata hati, bukan berarti tindakan kita pasti benar. Karena disadari atau tidak, hati kita tidak sesuci itu. Percayalah, tolak ukur melakukan sesuatu dengan benar bukan hati, Tapi kitab suci atau norma sehari-hari.
Jadi, kalimat bijak memang memiliki makna yang luar biasa. Namun jika kalimat bijak digunakan dengan tidak semestinya, itu bukan lagi kalimat bijak, melainkan hanya kalimat biasa yang berbalut kebijakan semu. Hal seperti itu sangat layak diperdebatkan.
Dan satu lagi, sesuatu yang sudah lama dianggap benar, bukan berarti sesuatu tersebut selalu benar. Zaman selalu berubah, pemikiran dan pemaknaan akan sesuatu juga harus berubah pula mengikuti perkembangan tersebut.

Posting Komentar