Mengenal Modus-Modus Mafia Sastra

Pixabay on Pexels

Penulis:            Galih Agus Santoso
Editor:              Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Apa yang terbayang saat kalian mendengar kata ‘mafia’? Apakah sebuah kejahatan? Atau sesuatu kegiatan ilegal yang berhubungan dengan uang dalam jumlah yang banyak?

Jika kalian mencari jawabannya di internet, beberapa sumber akan mendefinisikan mafia sebagai sekelompok perkumpulan rahasia yang melakukan kejahatan dan merugikan banyak orang. Mafia sendiri selalu ada dalam setiap bidang. Mulai dari industri pertambangan, logistik pangan, kegiatan impor-ekspor barang, sampai mafia masker bedah saat covid kemarin.

Ketika teknologi semakin berkembang, maka kejahatan pun semakin beraneka ragam jenisnya. Mafia bisa muncul dalam bidang apa saja, termasuk dalam bidang sastra yang sebelumnya tidak tercantum dalam daftar kegiatan yang menggiurkan bagi para pelaku kejahatan ini.

Kalau dulu masalah di dunia kepenulisan hanya di seputar penjual buku bajakan dan plagiasi karya. Sekarang masalahnya lebih keren karena ada mafianya.

Berikut adalah modus-modus para mafia sastra dalam melancarkan aksinya dan membuat korbannya mengalami berbagai kerugian :

1. LOMBA MENULIS
Melalui lomba menulis, para mafia sastra menjalankan bisnisnya dengan memanfaatkan antusiasme dari para peserta lomba tersebut. Mari kenali ciri-ciri lomba yang diselenggarakan oleh mafia sastra agar kita tidak tertipu.

Iming-Iming Piala
Hadiah berupa piala dan piagam adalah hal yang lumrah dalam sebuah perlombaan. Namun bagaimana jika panitia lomba menawarkan semua peserta akan memperoleh piala asalkan membayar sejumlah uang?

Mendapatkan piala memang merupakan sesuatu kebanggaan. Tapi jika kamu memeprolehnya dengan membayar lebih pada biaya pendaftaran lomba, apakah kamu tidak curiga kalau pihak penyelenggara sebenarnya sedang berbisnis dengan toko piala dan kamu lah targetnya?

Banyak orang tergiur mengikuti lomba demi mendapatkan piagam kepesertaan. Banyak dari mereka mengira piagam tersebut akan berguna ketika mendaftar kuliah atau kerja.

Padahal di banyak kasus, piagam juara lah yang diperhitungkan oleh pihak penyeleksi bukan piagam sebagai peserta.

Juara Fiktif
Juara fiktif alias para juara tidak pernah benar-benar ada. Bukan rahasia lagi, trik ini adalah cara agar para mafia sastra tidak perlu mengeluarkan uang yang sudah terkumpul (dari biaya pendaftaran) sebagai hadiah bagi para juara.

Untuk membuktikan modus ini memang tidak mudah, namun seperti kata pepatah, “Barangsiapa menyembunyikan bangkai pasti akan tercium juga.”

Sewaktu pandemi, saya sering mengikuti lomba menulis puisi secara online. Tidak ada kecurigaan di awal sampai suatu ketika pada saat juara diumumkan terdapat beberapa kejanggalan. Di mana nama juara 1 dan juara harapan 2 adalah sama, bukan hanya itu bahkan judul puisinya pun sama.

Tentunya banyak peserta yang protes. Pihak panitia berdalih bahwa isi kedua puisi tersebut berbeda meskipun judulnya sama dan ditulis oleh orang yang sama. Bukannya menampilkan bukti, akun media sosial penyelenggara lomba malah hilang tanpa jejak.

Akun Baru dan Followersnya Sedikit
Walaupun tidak semua akun lomba bodong seperti ini. Tapi ada alasannya kenapa mereka biasanya memiliki followers sedikit dan akun nya relatif baru. Karena biasanya setelah sukses melakukan penipuan mereka akan menghapus akun media sosial. Tanpa jejak. Kemudian membuat akun baru lagi ketika ingin memasang jebakan baru. Tidak perlu khwatair, mereka itu tidak kreatif dalam membuat nama akun pun tema lombanya selalu yang mainstream. Jadi jangan sampai ketipu ya! Apalagi kalau udah pernah ketipu.

Wajib Beli Buku
Misal kamu masuk kategori 100 karya terbaik (biasanya cerpen atau puisi). Karyamu akan dijadikan buku antologi. Saya pernah beruntung menang dalam suatu lomba tapi harus nombok karena harus beli buku plus biaya ongkirnya. Pasalnya hadiah yang didapat tidak sebanding dengan harga buku yang dibandrol.

Sebenarnya hal ini merupakan strategi marketing. Mayoritas orang pasti akan mebeli buku yang di dalamnya termuat tulisannya sendiri. Sekarang kalau ada lomba dengan persyaratan semacam itu pasti akan langsung saya skip.

Hadiah Enggak Logis
Laptop, iphone, uang tunai jutaan rupiah, dan masih dapat gantungan kunci lagi. Wow..siapa yang tidak tergiur memenagkan lomba seperti itu? Tapi setelah dicek tidak ada sponsor kredibel yang membiayai lomba tersebut apalagi biaya pendaftarannya gratis dan lombanya diadakan hampir tiap bulan. Terus darimana uangnya? Kalau saya sih positif thingking, mungkin lomba macam ini mau dapat banyak naskah tulisan secara gratis demi kepentingan mereka sendiri, oops..

2. PENERBITAN BUKU
Selain melalu lomba menulis, ternyata penerbitan buku juga menjadi salah satu modus para mafia sastra. Kalau kamu mau menerbitkan buku dan mendapati hal-hal seperti di bawah ini, kamu patut waspada!

Seleksi yang Terlalu Mudah
Penerbit profesional akan menyeleksi tulisan yang masuk dengan sangat ketat. Karena umumnya mereka menerbitkan buku secara gratis. Berhati-hatilah kalau kamu menemukan penerbit yang hampir setiap minggu menerbitkan buku dan mematok tarif tertentu. Kamu mungkin akan senang karena karyamu begitu mudah terbit. Tapi dengan seleksi yang sangat mudah apakah kamu yakin bukumu akan dilirik oleh pasar?

Editing yang Buruk
Seperti mengejar target dalam seminggu harus menerbitkan sekian buku. Editing penerbit macam ini sangatlah buruk. Typo di mana-mana, spasi yang gak karu-karuan dan jauh dari kata rapi. Karena memang bukan itu tujuan mereka. Alih-alih berusaha menjadi penerbit yang terpercaya mereka berorientasi pada uang dari setiap penulis yang ingin menerbitkan bukunya.

Poster Event yang Gak Niat
Menurut pengalaman saya, poster suatu event berbanding lurus dengan keseriusan penyelenggaranya. Event apa pun itu. Poster yang asal-asalan menggambarkan panitia yang terburu-buru dan tidak siap. Atau lebih buruknya pertanda kalau panitia begitu malas. Bikin poster aja males-malesan, apalagi harus mengkurasi ribuan naskah yang masuk dalam sebuah perlombaan. Jangan harap!

Saya pernah mengikuti lomba dengan poster seperti yang saya ceritakan di atas. Alhasil ketika waktunya pengumuman pemenang tiba, panitia meminta maaf karena katanya nih uangnya habis untuk biaya operasi usus buntu buat salah satu anggota penyelenggara lomba. Nggak sampai di situ aja, mereka bahkan meminta peserta untuk patungan demi kesembuhan si panitia tersebut. Dengan imbalan akan dijadikan juri di lomba berikutnya. Saya sih ogah soalnya enggak sekali dua kali ketemu yang model begini.

Galih Agus Santoso

Anak teknik yang cinta sastra. Bisa diajak kenalan di instagram dengan akun @santosoogalih..