Pemilu 2024: Pilih Mantan Artis atau Mantan Aktivis?
![]() |
KPU |
Penulis: Fauzan Ibn Hasby
Editor: Fatio Nurul Efendi
Cangkeman.net - Menuju Pemilu 2024, kontestasi politik di Indonesia menjadi begitu ramai. Namun, hal-hal yang seharusnya menjadi pemanis, justru diperhatikan masyarakat. Di sisi lain, justru hal-hal fundamental dari praktik demokratis ini malah tak dihiraukan sama sekali. Bertahun-tahun, sejak adanya pemilihan umum, rasanya tak ada yang benar-benar mendulang suara 'rakyat'.
Namun terlepas itu, rakyat sebagai pemilih tak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab jangankan membicarakan pengetahuan dan kepedulian rakyat pada isu politik dan kenegaraan, bahkan untuk sekedar mengetahui siapa calon legislatif dari partai A atau B saja, rakyat sudah kelimpungan.
Politik identitas kemudian akhirnya menjadi salah satu praktik yang melihat potensi tersebut. Alih-alih fokus pada program yang diusung, visi dan misi yang disiapkan, serta isu-isu sosial dan politik yang lebih mendalam, politik identitas justru hanya memanfaatkan hal-hal yang berkaitan erat dengan popularitas. Branding menjadi salah satu hal yang digunakan.
Sebab politik identitas tak hanya terjadi pada pemuka agama, pemimpin kelompok ras atau golongan saja. Lebih dari itu, kalangan artis atau selebriti juga telah masuk pada kategori lingkaran politik identitas.
Namun dalam hal ini, kalangan artis yang kini tengah begitu marak menjadi seorang Calon Legislatif (Caleg) dari berbagai partai, tak sepenuhnya dan belum tentu dinyatakan praktik politik identitas. Perlu analisa lebih lanjut. Paling tidak, secara singkat dan sederhananya artis yang dinyatakan melakukan politik identitas adalah mereka yang hanya menggunakan unsur popularitas saja. Beberapa hal fundamental, seperti isu politik dan sosial, program yang hendak diusung, hingga kontribusi dalam membangun dan memperbaiki kebijakan, malah benar-benar nihil tak terlihat.
Fenomena artis yang kini semakin marak menjadi Caleg ini kemudian diikuti oleh salah satu fenomena yang juga cukup ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Ya, aktivis. Seorang mantan mahasiswa aktivis yang kemudian terjun ke dunia politik untuk juga berkontestasi di dalamnya sebagai Caleg, dengan dalih memperbaiki sistem di dalam politik itu sendiri, maupun dalam ranah pemerintahan.
Namun, sebenarnya dari dua kalangan ini mana yang paling dapat diandalkan, atau bisa dibilang "mending" dibanding salah satunya.
Bila melihat dampak negatif dan positif, keduanya memilikinya. Jadi perlu disimak apa saja sisi putih dan sisi hitamnya. Paling tidak, untuk jadi bahan menimbang-nimbang, adakah yang lebih mending? Atau tidak sama sekali.
Maraknya artis yang kini menjadi Caleg di beberapa partai politik cukup membuat geram. Pasalnya, semakin hari, kalangan artis ini semakin banyak yang memilih untuk terjun ke dunia politik. Bukan hanya satu atau dua, jumlah puluhan telah menjadi bukti bahwa artis kini telah menjelma menjadi kelompok yang patut diwaspadai politisi partai.
Berdasarkan pengamatan dan analisa yang bisa dilihat, maraknya artis yang menjadi Caleg ini punya dampak negatif dan positif. Jika bicara dampak negatif beberapa hal di bawah ini dapat jadi acuan mungkin.
Timbulnya Reduksi Legislator
Dengan terlalu banyak kalangan artis di dunia politik salah satunya akan mereduksi pemikiran pemilih. Sebab, bukan sebuah kealfaan jika menyatakan bahwa artis hanya memanfaatkan popularitas dan citra saja. Dibanding mempersiapkan kebijakan di parlemen nanti, jalur eksposur dan branding image di kanal Televisi dan Sosial Media justru lebih dipakai.
Akhirnya, hal ini nantinya akan menimbulkan sebuah reduksi bagi para legislator. Di mana para legislator lain yang jelas-jelas punya visi, punya program yang baik, serta komitmen kuat dalam memperbaiki kebijakan di parlemen, justru tertimpa nama besar artis yang menjadi rivalnya di kotak suara.
Jam Terbang Kurang
Dalam sebuah praktik keprofesian apapun, jam terbang menjadi salah satu acuan. Begitupun dengan praktik politik. Artis yang dulunya merupakan penghibur masyarakat, kemudian berubah menjadi pemangku jabatan serta pengatur kebijakan, adalah jam terbang yang aneh bila dihubungkan.
Dari kurangnya pengalaman ini akan cukup berdampak pada kurangnya pemahaman mencari sebuah solusi konkrit dari sebuah masalah yang terjadi, atau bahkan tak benar-benar mengerti dan bisa melangkah untuk mengambil sebuah kebijakan yang baik.
Kampanye Citra dan Popularitas
Karena dasar dan modal awalnya adalah citra dan popularitas. Maka kalangan artis akan memanfaatkan hal itu. Partai pun dalam hal ini akan cukup tertolong, sebab traffic eksposur dari artis itu akan juga merambat pada nama partainya.
Hal ini bila terlalu banyak dilakukan melalui kalangan artis pada akhirnya justru akan rentan mengaburkan isu-isu yang penting dan genting. Akhirnya, kebiasaan baru untuk mengalihkan hal fundamental menjadi hal komersial akan menjadi praktik lazim.
Menyematkan Politisasi Selebriti
Lagi-lagi bicara unsur popularitas yang jadi modal kalangan artis. Bila terlalu banyak kalangan artis di praktik politik. Hal ini akan menimbulkan kerentanan akan terjadinya sebuah tren baru, yakni politisasi selebriti.
Partai akan mulai melirik banyak artis. Kemudian mengesampingkan atau bahkan membuang para legislator lain yang minim traffic, padahal punya visi dan program serta latar belakang yang sesuai dengan praktik politik dan pemerintahan.
Hal-hal di atas akan terjadi dan dapat sangat terbukti dengan satu catatan. Apabila kalangan artis yang begitu banyak itu, benar-benar hanya mengandalkan popularitas. Jika memang punya visi jelas, program jelas, komitmen jelas, perhatian pada isu politik, hingga siap memperjuangkan perbaikan kebijakan, maka justru dampak positif lah yang akan didapatkan.
Kiranya mungkin dampak positif itu dapat terjadi sebagai berikut.
Meningkatkan Partisipasi Politik
Jika syarat di atas tercukupi, maka peningkatan partisipasi politik dari masyarakat akan terjadi melalui artis. Sebab tak bisa dipungkiri, bahwa popularitas yang dibawa artis juga akan membawa masyarakat untuk juga melek terhadap isu-isu politik dan kebijakan pemerintah.
Representasi yang Lebih Inklusif
Datangnya artis dari latar belakang kesenian yang berbeda-beda justru bila benar-benar bermain di dalam parlemen dengan baik akan menambah banyak isu yang konsen mereka perjuangkan. Entah itu isu yang memang terkait dengan komunitas mereka, atau bukan, paling tidak keberagaman serta hal-hal kecil lain bagi kesejahteraan masyarakat yang selama ini tak diperhatikan, dapat dilirik lebih jauh.
Mendorong Isu Sosial
Tak dapat dipungkiri bahwa kalangan artis adalah mereka yang telah lama berkecimpung dalam dunia hiburan. Biasanya pemikiran artis yang memang sudah masuk dalam dunia hiburan sebagai salah satu bagian dari dunia sosial akan mendorong adanya perhatian lebih pada isu sosial di parlemen.
Memperluas Basis Pemilih
Kalangan artis yang biasanya secara emosional memiliki keterikatan dengan kalangan fans-nya. Nantinya akan mendorong adanya partisipasi politik dari kalangan masyarakat. Bahkan tak hanya mau memilih sesuai pilihan, isu-isu yang mereka angkat bisa menarik minat para anak muda yang merasa tak suka pada praktik politik konvensional dan merasa teralienasi oleh politik tradisional sebelumnya.
Lagi-lagi, dampak negatif dan positif akan sangat tergantung pada apa yang dilakukan artis tersebut. Namun, nampaknya karena terlalu banyak, tetap saja dampak negatif yang lebih mungkin akan terasa nantinya.
Di sisi lain, akhir-akhir ini tengah ramai soal mantan aktivis mahasiswa yang ikut menjadi Caleg. Sebut saja Ketua BEM UI yang gabung Perindo itu. Banyak orang mengatakan kalau itu fase jelek. Dulunya aktivis menyuarakan suara rakyat, kemudian mendulang suara jadi Caleg dengan perlakuan yang sama saja merugikan rakyat.
Sama halnya dengan kalangan artis di atas, kalangan aktivis juga banyak melakukan hal ini. Tapi apakah ini sebuah praktik politik identitas? Kembali hanya bisa ditakar melalui pergerakannya saat kampanye dan setelah menjadi pemangku kebijakan nantinya.
Tapi terlepas itu, apakah kalangan aktivis yang melaju ke kontestasi politik itu lebih mending daripada artis? Jawabannya bisa iya bisa tidak.
Jika mengatakan iya, alasannya lagi-lagi isu dan komitmen. Tak dapat dipungkiri, aktivis pasti memiliki keterikatan dalam pemahaman lebih terkait isu politik dan kebijakan pemerintahan. Dibanding artis, kalangan aktivis dalam hal ini jauh lebih menjanjikan sebenarnya.
Namun, di sisi lain, memang benar celotehan banyak orang. Bahwa fase jelek ini rentan hanya akan menimbulkan kemarahan rakyat. Mereka yang dulu memperjuangkan suara rakyat, justru akan sangat rentan dimakan rayap jahatnya politik di dalam partai maupun parlemen nantinya.
Sebab tak bisa dipungkiri, kata senior dan junior bagi telinga aktivis sudah barang pasti memantik mereka untuk hormat dan taat pada saran dan perintah. Kecuali, jika mereka memang berani dan tak menghiraukan intervensi dari pihak lain.
Cangkeman.net - Menuju Pemilu 2024, kontestasi politik di Indonesia menjadi begitu ramai. Namun, hal-hal yang seharusnya menjadi pemanis, justru diperhatikan masyarakat. Di sisi lain, justru hal-hal fundamental dari praktik demokratis ini malah tak dihiraukan sama sekali. Bertahun-tahun, sejak adanya pemilihan umum, rasanya tak ada yang benar-benar mendulang suara 'rakyat'.
Namun terlepas itu, rakyat sebagai pemilih tak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab jangankan membicarakan pengetahuan dan kepedulian rakyat pada isu politik dan kenegaraan, bahkan untuk sekedar mengetahui siapa calon legislatif dari partai A atau B saja, rakyat sudah kelimpungan.
Politik identitas kemudian akhirnya menjadi salah satu praktik yang melihat potensi tersebut. Alih-alih fokus pada program yang diusung, visi dan misi yang disiapkan, serta isu-isu sosial dan politik yang lebih mendalam, politik identitas justru hanya memanfaatkan hal-hal yang berkaitan erat dengan popularitas. Branding menjadi salah satu hal yang digunakan.
Sebab politik identitas tak hanya terjadi pada pemuka agama, pemimpin kelompok ras atau golongan saja. Lebih dari itu, kalangan artis atau selebriti juga telah masuk pada kategori lingkaran politik identitas.
Namun dalam hal ini, kalangan artis yang kini tengah begitu marak menjadi seorang Calon Legislatif (Caleg) dari berbagai partai, tak sepenuhnya dan belum tentu dinyatakan praktik politik identitas. Perlu analisa lebih lanjut. Paling tidak, secara singkat dan sederhananya artis yang dinyatakan melakukan politik identitas adalah mereka yang hanya menggunakan unsur popularitas saja. Beberapa hal fundamental, seperti isu politik dan sosial, program yang hendak diusung, hingga kontribusi dalam membangun dan memperbaiki kebijakan, malah benar-benar nihil tak terlihat.
Fenomena artis yang kini semakin marak menjadi Caleg ini kemudian diikuti oleh salah satu fenomena yang juga cukup ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Ya, aktivis. Seorang mantan mahasiswa aktivis yang kemudian terjun ke dunia politik untuk juga berkontestasi di dalamnya sebagai Caleg, dengan dalih memperbaiki sistem di dalam politik itu sendiri, maupun dalam ranah pemerintahan.
Namun, sebenarnya dari dua kalangan ini mana yang paling dapat diandalkan, atau bisa dibilang "mending" dibanding salah satunya.
Bila melihat dampak negatif dan positif, keduanya memilikinya. Jadi perlu disimak apa saja sisi putih dan sisi hitamnya. Paling tidak, untuk jadi bahan menimbang-nimbang, adakah yang lebih mending? Atau tidak sama sekali.
Maraknya artis yang kini menjadi Caleg di beberapa partai politik cukup membuat geram. Pasalnya, semakin hari, kalangan artis ini semakin banyak yang memilih untuk terjun ke dunia politik. Bukan hanya satu atau dua, jumlah puluhan telah menjadi bukti bahwa artis kini telah menjelma menjadi kelompok yang patut diwaspadai politisi partai.
Berdasarkan pengamatan dan analisa yang bisa dilihat, maraknya artis yang menjadi Caleg ini punya dampak negatif dan positif. Jika bicara dampak negatif beberapa hal di bawah ini dapat jadi acuan mungkin.
Timbulnya Reduksi Legislator
Dengan terlalu banyak kalangan artis di dunia politik salah satunya akan mereduksi pemikiran pemilih. Sebab, bukan sebuah kealfaan jika menyatakan bahwa artis hanya memanfaatkan popularitas dan citra saja. Dibanding mempersiapkan kebijakan di parlemen nanti, jalur eksposur dan branding image di kanal Televisi dan Sosial Media justru lebih dipakai.
Akhirnya, hal ini nantinya akan menimbulkan sebuah reduksi bagi para legislator. Di mana para legislator lain yang jelas-jelas punya visi, punya program yang baik, serta komitmen kuat dalam memperbaiki kebijakan di parlemen, justru tertimpa nama besar artis yang menjadi rivalnya di kotak suara.
Jam Terbang Kurang
Dalam sebuah praktik keprofesian apapun, jam terbang menjadi salah satu acuan. Begitupun dengan praktik politik. Artis yang dulunya merupakan penghibur masyarakat, kemudian berubah menjadi pemangku jabatan serta pengatur kebijakan, adalah jam terbang yang aneh bila dihubungkan.
Dari kurangnya pengalaman ini akan cukup berdampak pada kurangnya pemahaman mencari sebuah solusi konkrit dari sebuah masalah yang terjadi, atau bahkan tak benar-benar mengerti dan bisa melangkah untuk mengambil sebuah kebijakan yang baik.
Kampanye Citra dan Popularitas
Karena dasar dan modal awalnya adalah citra dan popularitas. Maka kalangan artis akan memanfaatkan hal itu. Partai pun dalam hal ini akan cukup tertolong, sebab traffic eksposur dari artis itu akan juga merambat pada nama partainya.
Hal ini bila terlalu banyak dilakukan melalui kalangan artis pada akhirnya justru akan rentan mengaburkan isu-isu yang penting dan genting. Akhirnya, kebiasaan baru untuk mengalihkan hal fundamental menjadi hal komersial akan menjadi praktik lazim.
Menyematkan Politisasi Selebriti
Lagi-lagi bicara unsur popularitas yang jadi modal kalangan artis. Bila terlalu banyak kalangan artis di praktik politik. Hal ini akan menimbulkan kerentanan akan terjadinya sebuah tren baru, yakni politisasi selebriti.
Partai akan mulai melirik banyak artis. Kemudian mengesampingkan atau bahkan membuang para legislator lain yang minim traffic, padahal punya visi dan program serta latar belakang yang sesuai dengan praktik politik dan pemerintahan.
Hal-hal di atas akan terjadi dan dapat sangat terbukti dengan satu catatan. Apabila kalangan artis yang begitu banyak itu, benar-benar hanya mengandalkan popularitas. Jika memang punya visi jelas, program jelas, komitmen jelas, perhatian pada isu politik, hingga siap memperjuangkan perbaikan kebijakan, maka justru dampak positif lah yang akan didapatkan.
Kiranya mungkin dampak positif itu dapat terjadi sebagai berikut.
Meningkatkan Partisipasi Politik
Jika syarat di atas tercukupi, maka peningkatan partisipasi politik dari masyarakat akan terjadi melalui artis. Sebab tak bisa dipungkiri, bahwa popularitas yang dibawa artis juga akan membawa masyarakat untuk juga melek terhadap isu-isu politik dan kebijakan pemerintah.
Representasi yang Lebih Inklusif
Datangnya artis dari latar belakang kesenian yang berbeda-beda justru bila benar-benar bermain di dalam parlemen dengan baik akan menambah banyak isu yang konsen mereka perjuangkan. Entah itu isu yang memang terkait dengan komunitas mereka, atau bukan, paling tidak keberagaman serta hal-hal kecil lain bagi kesejahteraan masyarakat yang selama ini tak diperhatikan, dapat dilirik lebih jauh.
Mendorong Isu Sosial
Tak dapat dipungkiri bahwa kalangan artis adalah mereka yang telah lama berkecimpung dalam dunia hiburan. Biasanya pemikiran artis yang memang sudah masuk dalam dunia hiburan sebagai salah satu bagian dari dunia sosial akan mendorong adanya perhatian lebih pada isu sosial di parlemen.
Memperluas Basis Pemilih
Kalangan artis yang biasanya secara emosional memiliki keterikatan dengan kalangan fans-nya. Nantinya akan mendorong adanya partisipasi politik dari kalangan masyarakat. Bahkan tak hanya mau memilih sesuai pilihan, isu-isu yang mereka angkat bisa menarik minat para anak muda yang merasa tak suka pada praktik politik konvensional dan merasa teralienasi oleh politik tradisional sebelumnya.
Lagi-lagi, dampak negatif dan positif akan sangat tergantung pada apa yang dilakukan artis tersebut. Namun, nampaknya karena terlalu banyak, tetap saja dampak negatif yang lebih mungkin akan terasa nantinya.
Di sisi lain, akhir-akhir ini tengah ramai soal mantan aktivis mahasiswa yang ikut menjadi Caleg. Sebut saja Ketua BEM UI yang gabung Perindo itu. Banyak orang mengatakan kalau itu fase jelek. Dulunya aktivis menyuarakan suara rakyat, kemudian mendulang suara jadi Caleg dengan perlakuan yang sama saja merugikan rakyat.
Sama halnya dengan kalangan artis di atas, kalangan aktivis juga banyak melakukan hal ini. Tapi apakah ini sebuah praktik politik identitas? Kembali hanya bisa ditakar melalui pergerakannya saat kampanye dan setelah menjadi pemangku kebijakan nantinya.
Tapi terlepas itu, apakah kalangan aktivis yang melaju ke kontestasi politik itu lebih mending daripada artis? Jawabannya bisa iya bisa tidak.
Jika mengatakan iya, alasannya lagi-lagi isu dan komitmen. Tak dapat dipungkiri, aktivis pasti memiliki keterikatan dalam pemahaman lebih terkait isu politik dan kebijakan pemerintahan. Dibanding artis, kalangan aktivis dalam hal ini jauh lebih menjanjikan sebenarnya.
Namun, di sisi lain, memang benar celotehan banyak orang. Bahwa fase jelek ini rentan hanya akan menimbulkan kemarahan rakyat. Mereka yang dulu memperjuangkan suara rakyat, justru akan sangat rentan dimakan rayap jahatnya politik di dalam partai maupun parlemen nantinya.
Sebab tak bisa dipungkiri, kata senior dan junior bagi telinga aktivis sudah barang pasti memantik mereka untuk hormat dan taat pada saran dan perintah. Kecuali, jika mereka memang berani dan tak menghiraukan intervensi dari pihak lain.
Dari kedua kalangan di atas, baik artis maupun aktivis sebenarnya sama saja. Toh, demokrasi serta hak konstitusi dimiliki oleh semua orang. Paling tidak kita sebagai rakyat dapat ambil sisi positifnya dari fenomena ini. Demokrasi yang terbuka untuk membiarkan siapapun dapat menjadi Caleg sudah terbukti berjalan di Indonesia.
Meski kembali lagi, sebagai rakyat, menakar-nakar lebih baik kalangan yang mana yang harus dipilih itu urusan masing-masing. Namun lagi-lagi, komitmen untuk perbaikan kebijakan di parlemen adalah kunci dari kebingungan nantinya.

Posting Komentar