Unek-unek Perihal Fenomena Menerbitkan Buku Antologi Puisi
Penulis: Joko Yulianto
Editor: Nurul Fatin Sazanah
Cangkeman.net - Merebaknya iklan penerbitan buku menjadikan penulis sastra amatir berlomba membuat karya buku dengan mudah dan murah. Cuma bayar ratusan ribu untuk keperluan administratif ISBN, penulis pemula itu sudah bisa pasang nama di Perpusnas. Edan!
Di tengah rendahnya minat baca manusia modern Indonesia, para manusia gila pujian mulai aktif menulis puisi dan cerpen untuk dijadikan karya fenomenal, yakni buku. Kemudian, memposting di media sosial tentang kesangarannya sebagai penulis buku yang dikesankan pintar, jenius, dan banyak wawasan.
Semasa kuliah 12 tahun yang lalu, saya bergelut di bidang kesenian, khususnya teater. Dari sana, saya aktif nimbrung di berbagai komunitas seperti Diskusi Pawon, Malam Sastra Solo, hingga Malam Puisi Solo. Saya belajar menulis puisi dan berlatih membaca puisi di muka umum.
Namun, sampai sekarang saya masih ragu membuat buku puisi. Lha wong ngirim puluhan puisi ke media online dan cetak juga tidak pernah diterbitkan. Lantas, saya muhasabah diri kalau saya memang tidak berbakat jadi penyair alias puisi saya itu jelek!
Lha ini, ada beberapa teman yang tidak pernah belajar teknik mengolah diksi, berimajinasi, dan bersastra, ujug-ujug muncul di media sosial telah menerbitkan buku antologi puisi. Begini ya mas/mbak, menulis puisi itu memang gampang. Paling hanya butuh 10 menit sudah jadi satu puisi. Yang jadi pertanyaan, puisimu itu berkualitas atau tidak?
Jangan sampai Perpusnas memproduksi karya-karya ambisius penyair abal-abal. Puisi menye-menye atau cinta-cintaan alay.
Apalagi banyak penerbitan minor yang asal menerbitkan buku asal ada cuan-nya. Tidak ada koreksi, evaluasi, atau penolakan, “Maaf mas/mbak, kami belum bisa menerbitkan naskahmu. Puisimu itu sampah!”
Jangankan punya kegelisahan seperti kutipan John F. Kennedy, “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya,” mereka menerbitkan buku antologi puisi itu paling hanya dicetak belasan eksemplar. Itu pun dijual ke sanak saudara agar dipuji dan jadi kebanggaan keluarga.
Mereka tidak sempat malu pada puisi karya W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, atau mungkin Joko Pinurbo. Yang penting jadi penyair! Jian, cuma nitip sampah untuk Perpusnas.
Lima tahun lalu, saya sempatkan membeli buku antologi teman saya. Sebagai bentuk apresiasi dan ngajeni usaha teman yang ingin dikenal sebagai penyair.
Setelah banyak membaca puisi dari penyair kawakan, membaca puisi teman saya di dua halaman awal sudah langsung tidak saya lanjutkan. Dan sejak saat itu, saya trauma jika ditawari buku antologi puisi yang merupakan hasil karya penyair pemula.
Para penyair pemula itu perlu dikasih peringatan untuk jangan terlalu percaya diri menerbitkan buku antologi puisi. Dipikirnya gampang menjadi penyair.
Minimal kenalkan diri sebagai penyair dengan puisi-puisi di kolom media. Setelah banyak lolos kurasi, barulah pede untuk membuat buku antologi puisi. Jangan ujug-ujug buat buku puisi, sedangkan kebiasaannya hanya posting gombal-gombalan aneh di media sosial. Sadarlah, woi!
Saya jelas mengapresiasi penyair muda yang mau berkarya. Namun, jangan lantas mendeklarasikan diri sebagai penyair jika belum mampu memahami lingkar bahasa kesastraan. Ikut dulu diskusi sastra, banyakin baca puisi yang best seller, dan renungkan tujuan serta maksud puisi.
Seolah-olah dengan diksi aneh-aneh lantas dianggap puitis. TAI! Cari di KBBI, beragam diksi aneh juga ada. Tinggal tempel di badan puisi. Lalu apa pesan puisimu? Setelah baca puisimu, aku akan dapat hidayah apa?
Jelas, saya tidak punya kompetensi menjadi kritikus puisi. Puisi saya jelek, meski saya tahu mana puisi yang bagus dan mana puisi yang ngawur. Namun, dari pengalaman diskusi dengan penyair, baca sejarah dan kandungan puisi membuat saya sah menggelisahkan beredarnya buku antologi puisi yang dicetak oleh penerbit yang sulit dicari di Google itu.
Selain tidak adanya kurator dari pihak penerbit, Perpusnas juga dengan mudahnya memberikan akses ISBN kepada penyair yang haus terkenal itu. Sekali lagi, menulis puisi itu gampang pol. Tapi menjadi sulit kalau puisi itu dibuat menjadi bagus dan ada pesan tersiratnya.
Tidak adanya kritik puisi bagi penyair pemula bakal berdampak pada rendahnya kualitas produksi sastra di Indonesia. Niatnya mau belajar puisi, malah ketemu buku antologi puisi yang super jelek. Semakin mustahil mengangkat kredibilitas puisi sebagai pembersih politik yang kotor di negeri ini.
Editor: Nurul Fatin Sazanah
Di tengah rendahnya minat baca manusia modern Indonesia, para manusia gila pujian mulai aktif menulis puisi dan cerpen untuk dijadikan karya fenomenal, yakni buku. Kemudian, memposting di media sosial tentang kesangarannya sebagai penulis buku yang dikesankan pintar, jenius, dan banyak wawasan.
Semasa kuliah 12 tahun yang lalu, saya bergelut di bidang kesenian, khususnya teater. Dari sana, saya aktif nimbrung di berbagai komunitas seperti Diskusi Pawon, Malam Sastra Solo, hingga Malam Puisi Solo. Saya belajar menulis puisi dan berlatih membaca puisi di muka umum.
Namun, sampai sekarang saya masih ragu membuat buku puisi. Lha wong ngirim puluhan puisi ke media online dan cetak juga tidak pernah diterbitkan. Lantas, saya muhasabah diri kalau saya memang tidak berbakat jadi penyair alias puisi saya itu jelek!
Lha ini, ada beberapa teman yang tidak pernah belajar teknik mengolah diksi, berimajinasi, dan bersastra, ujug-ujug muncul di media sosial telah menerbitkan buku antologi puisi. Begini ya mas/mbak, menulis puisi itu memang gampang. Paling hanya butuh 10 menit sudah jadi satu puisi. Yang jadi pertanyaan, puisimu itu berkualitas atau tidak?
Jangan sampai Perpusnas memproduksi karya-karya ambisius penyair abal-abal. Puisi menye-menye atau cinta-cintaan alay.
Apalagi banyak penerbitan minor yang asal menerbitkan buku asal ada cuan-nya. Tidak ada koreksi, evaluasi, atau penolakan, “Maaf mas/mbak, kami belum bisa menerbitkan naskahmu. Puisimu itu sampah!”
Jangankan punya kegelisahan seperti kutipan John F. Kennedy, “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya,” mereka menerbitkan buku antologi puisi itu paling hanya dicetak belasan eksemplar. Itu pun dijual ke sanak saudara agar dipuji dan jadi kebanggaan keluarga.
Mereka tidak sempat malu pada puisi karya W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, atau mungkin Joko Pinurbo. Yang penting jadi penyair! Jian, cuma nitip sampah untuk Perpusnas.
Lima tahun lalu, saya sempatkan membeli buku antologi teman saya. Sebagai bentuk apresiasi dan ngajeni usaha teman yang ingin dikenal sebagai penyair.
Setelah banyak membaca puisi dari penyair kawakan, membaca puisi teman saya di dua halaman awal sudah langsung tidak saya lanjutkan. Dan sejak saat itu, saya trauma jika ditawari buku antologi puisi yang merupakan hasil karya penyair pemula.
Para penyair pemula itu perlu dikasih peringatan untuk jangan terlalu percaya diri menerbitkan buku antologi puisi. Dipikirnya gampang menjadi penyair.
Minimal kenalkan diri sebagai penyair dengan puisi-puisi di kolom media. Setelah banyak lolos kurasi, barulah pede untuk membuat buku antologi puisi. Jangan ujug-ujug buat buku puisi, sedangkan kebiasaannya hanya posting gombal-gombalan aneh di media sosial. Sadarlah, woi!
Saya jelas mengapresiasi penyair muda yang mau berkarya. Namun, jangan lantas mendeklarasikan diri sebagai penyair jika belum mampu memahami lingkar bahasa kesastraan. Ikut dulu diskusi sastra, banyakin baca puisi yang best seller, dan renungkan tujuan serta maksud puisi.
Seolah-olah dengan diksi aneh-aneh lantas dianggap puitis. TAI! Cari di KBBI, beragam diksi aneh juga ada. Tinggal tempel di badan puisi. Lalu apa pesan puisimu? Setelah baca puisimu, aku akan dapat hidayah apa?
Jelas, saya tidak punya kompetensi menjadi kritikus puisi. Puisi saya jelek, meski saya tahu mana puisi yang bagus dan mana puisi yang ngawur. Namun, dari pengalaman diskusi dengan penyair, baca sejarah dan kandungan puisi membuat saya sah menggelisahkan beredarnya buku antologi puisi yang dicetak oleh penerbit yang sulit dicari di Google itu.
Selain tidak adanya kurator dari pihak penerbit, Perpusnas juga dengan mudahnya memberikan akses ISBN kepada penyair yang haus terkenal itu. Sekali lagi, menulis puisi itu gampang pol. Tapi menjadi sulit kalau puisi itu dibuat menjadi bagus dan ada pesan tersiratnya.
Tidak adanya kritik puisi bagi penyair pemula bakal berdampak pada rendahnya kualitas produksi sastra di Indonesia. Niatnya mau belajar puisi, malah ketemu buku antologi puisi yang super jelek. Semakin mustahil mengangkat kredibilitas puisi sebagai pembersih politik yang kotor di negeri ini.

Posting Komentar