Vulgaritas dalam Novel Berlabel Religi Islami Pesantren


Cottonbro Studio on Pexels

Penulis:   Fatimatur Rosyidah
Editor:    Nurul Fatin Sazanah

Cangkeman.net - Ada sebuah frasa yang membuat saya deg-degan, yakni ‘santri penulis’. Bagaimana tidak, saya yang juga santri ini merasa ikutan keren ketika mendengar atau membacanya. Kesan konservatif nan kolot santri berubah menjadi sedemikian keren dan hebat.

Tapi, citra keren dan hebat itu ternyata tak sungguh nyata dan tak bisa benar-benar dibanggakan. Pada kenyataannya, ada hal-hal miris yang saya temukan setelahnya. Hal menyedihkan yang ternyata tak banyak disadari, terutama dunia tulisan fiksi santri.

Sebenarnya ada apa di balik dunia tulisan fiksi santri? Hal miris pertama yang saya temukan adalah menormalisasi pacaran yang jelas terlarang menurut syariat.

Selanjutnya, tema tulisan yang hampir melulu tentang romansa dan melenceng cukup jauh dari gaung dakwah yang dimaksudkan.

Biasanya —meskipun tidak semua— cerita romansa ala santri memakai trope gus atau ning dengan abdi dalem. Ini sebenarnya mengambil trope ala-ala Disney princess, antara pangeran atau putri dan rakyat jelata.

Untuk karya pemula, tentu saja hal semacam ini masih bisa dimaklumi. Sebab, menulis fiksi yang benar-benar bagus memang tak bisa dikatakan mudah, apalagi jika menyangkut masalah religi Islami. Hanya saja, diharapkan jangan sampai terlalu meromantisasi suasana sampai menjatuhkan muru’ah simbol pesantren, dalam hal ini gus, ning, kyai, ustadz, dan lain-lain.

Selain perihal meromantisasi suasana terlampau parah, ada hal lain lagi yang begitu fatal. Hal yang sebenarnya sudah bisa dikatakan ‘tidak pantas’ ditulis oleh santri. Hal itu adalah narasi-narasi dan showing adegan vulgar dalam cerita.

Jika mau sedikit lebih kritis dan jeli perihal ini, tentunya kita akan sangat banyak menemukan narasi-narasi dan showing vulgar dalam novel cetak maupun online berlabel religi Islami. Parahnya, karya-karya itu sebagian ditulis oleh santri, bahkan seorang Ning. Miris sekali, bukan?

Salah satunya adalah novel Hati Suhita karya Khilma Anis. Dalam novel tersebut terdapat begitu banyak narasi vulgar bertebaran, bahkan sejak opening novel.

Pada paragraf ketiga bab pertama saja, saya langsung disuguhkan dengan pemilihan diksi yang membuat saya terkaget-kaget. Kalimat tersebut berbunyi:

Aneh memang, mestinya bulan-bulan pertama pernikahan adalah hari-hari paling indah. Penuh gelora, hasrat, keringat, desah kenikmatan, kecupan, dan pelukan…

Padahal, jika diperhalus juga tidak akan mengubah makna atau mengurangi unsur romantis tulisan. Misalkan dengan pilihan diksi dan narasi lebih sopan seperti, “Aneh memang, mestinya bulan-bulan pertama pernikahan adalah hari-hari paling indah. Penuh romantisme dan kasih sayang…

Tak hanya dari novel yang terbit melalui self-published saja yang memuat hal semacam ini. Bahkan, dalam novel lain keluaran penerbit mayor, saya juga menemukan hal serupa.

Dalam novel berjudul Yang Ternoda karya Susan Arisanti terdapat adegan ranjang pada halaman 13 dengan narasi berikut ini:

... tapi ketika sebuah bibir menyentuh kulit lehernya, Asha tak peduli apa pun. Yang ia butuhkan hanya satu, merespons dengan sentuhan yang semakin intim untuk meredakan panas yang membakar dirinya.

Dua novel yang bisa dikatakan best seller karena sudah terjual ribuan eksemplar ini, tentunya bisa merembet ke novel-novel lain.

Saya juga menemukan narasi dan showing yang bisa dikatakan sangat fatal pada sebuah novel yang tersedia dalam versi online dan cetak berjudul Ustadz in Love karya Yayang Shona —yang sepertinya juga santri.

Dia berjalan pelan, kedua tangan menyilang menutupi buah dada. Kulitnya terlihat putih dan mulus. Tinggi 165 cm, tubuh proporsional, tidak gemuk juga tidak kurus tetapi sintal. Rambutnya tergerai, memperindah tubuhnya. Cantik sekali seperti bunga desa. Naluri lelakiku bangkit. Gairahku yang terpaksa mati suri selama tiga tahun kini kembali bergetar.

Bagaimana? Narasi-narasinya cukup bikin semriwing dan deg-deg ser, kan? Padahal, cerita-cerita tersebut dilabeli religi, bahkan dengan latar pesantren, loh.

Sejatinya, adegan-adegan yang bisa bikin semriwing tersebut masih bisa dihilangkan dan diganti dengan narasi atau adegan romantis lain, kan? Tetap tidak akan mengubah makna dan plot dari suatu cerita.

Sebenarnya, sebagai penulis fiksi pemula, saya sendiri pun pernah melakukan hal serupa ketika awal belajar menulis dulu. Tapi, seiring waktu, saya banyak belajar.

Hal yang paling besar pengaruhnya terhadap perubahan tulisan saya adalah penerimaan terhadap kritikan membangun dari pembaca dan teman sesama penulis. Selain itu, tentunya juga mengendapkan naskah dan mulai membaca kembali dari sudut pandang pembaca murni.

Terlebih karena yang menulis adalah santri dan sebagian malah bergelar Ning, maka hal ini bisa membuat khalayak umum berpikir bahwa narasi semacam ini adalah hal wajar. Menceritakan detail adegan yang berpotensi memantik hasrat adalah hal biasa dan ‘boleh’. Padahal, sudah sangat jelas bahwa hal tersebut sangat terlarang adanya.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِى إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِى إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

Artinya: Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan istrinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya.

Suami istri saja dilarang menceritakan kepada orang lain, apalagi lagi hanya adegan cerita yang sejatinya sangat bisa dilompati dan diganti dengan narasi atau showing lain yang menunjukkan hal tersebut.

Saya menyuarakan ini semata bukan ingin menjatuhkan para santri penulis. Bukan, sama sekali bukan. Tapi, saya hanya ingin agar para penulis lebih berhati-hati lagi dalam menyajikan karya. Karena jika hal ini terus dibiarkan, maka akan muncul banyak sekali kemungkinan buruk. Tak hanya mencoreng citra pesantren pada khususnya dan Islam pada umumnya, tapi tulisan dan cerita ini akan menjadi lumrah pada akhirnya.

Memang, menyajikan nuansa romantis dalam tulisan bukan hal mudah, apalagi bersinggungan dengan agama. Tapi, bukankah masih ada karya-karya romantis sopan nan elegan yang juga merupakan karya seorang santri? Karya yang manis sekaligus kental unsur dakwahnya.

Salah satu contoh kisah romantis yang sopan dan elegan adalah novel Ketika Cinta Bertasbih karya seorang santri sekaligus alumni Al Azhar, yaitu Habiburrahman El Shirazy. Di sepanjang alur, kita disuguhkan banyak sekali ilmu. Pun begitu, kisah asmara antara kedua tokoh tersaji manis dan sangat sopan.

Nah, sekarang sudah tahu, kan ada hal semacam ini? Jadi, apa pantas jika kita diam saja?


    Fatimatur Rosyidah

    Santri dan ibu empat anak yang hobi membaca serta menulis fiksi           dan non fiksi. Suka mengamati kehidupan dan merenungkannya.