Biar Enggak Berujung Debat, Perhatikan Hal Ini Saat Berdiskusi!
![]() |
Redd F on Unsplash |
Penulis: Achmad Fauzan
Editor: Fatio Nurul Efendi
Cangkeman.net - Semenjak jadi mahasiswa, kehidupan saya sangat akrab dengan aktivitas diskusi. Walaupun saya termasuk golongan "mahasiswa kupu-kupu", tapi saya cukup sering melakukannya ketika di tongkrongan warung kopi ataupun saat ada ormek membuka acara diskusi umum.
Dan nggak bisa dimungkiri, diskusi memang sebuah terobosan yang cukup ciamik untuk mendapatkan wawasan dari orang yang punya latar belakang berbeda. Modal yang diperlukan pun nggak seperti ketika mendapatkan wawasan dari buku; yang harus keluar uang banyak dan membacanya dulu. Kadang, hanya bermodal badan sehat, niat dan tekad yang kuat itu sudah cukup untuk mengikutinya.
Tapi, walaupun aktivitas diskusi modalnya semurah itu, tetap jangan dianggap remeh. Nggak jarang saya menemui kawan-kawan mahasiswa mengubah aktivitas diskusi jadi debat kusir. Aktivitas yang harusnya menuntun supaya mendapatkan kesimpulan bersama, kadang malah berujung pada saling adu sentimen semata.
Oleh karenanya, siapapun Anda, kalau pernah melakukan itu, mulai sekarang segera hentikan. Selama mengamati aktivitas diskusi kawan-kawan yang menyeleweng itu, saya punya catatan yang bisa Anda sekalian pahami agar ketika diskusi nggak sampai jadi debat kusir.
Sepakati setiap ada definisi yang dirasa belum pas
Hal yang kali pertama jadi sumbu terjadinya debat kusir biasanya adalah gara-gara mengabaikan definisi. Kita kadang sudah paham tentang definisi dari kata tertentu, tapi nggak mau tahu apakah pemahaman kita tentang definisi itu sama atau nggak dengan pemahaman kawan diskusi kita.
Perihal definisi ini memang sepele, tapi dampaknya sangat penting terhadap lancarnya proses diskusi. Sederhananya, definisi ini adalah batasan dalam sebuah diskusi. Dia yang selalu mengiringi serangkaian argumen dalam diskusi kita.
Misalnya saja, ada diskusi dengan topik “meningkatkan personal branding di media sosial”. Pemahaman kita tentang definisi personal branding adalah mempromosikan keahlian diri kita di Instagram. Tapi ternyata, kawan diskusi kita memahami definisi personal branding sebagai proses membohongi orang-orang di Instagram.
Dari situ, kalau kita dan kawan diskusi nggak saling menyadari ada sebuah perbedaan definisi, maka sekuat apapun argumen kita tentang cara meningkatkan personal branding, jelas nggak ada gunanya bagi kawan diskusi kita. Begitupun sebaliknya, kita akan menganggap kawan diskusi bodoh sekalipun argumentasinya kuat. Akhirnya, yang terjadi adalah saling menyodorkan sentimen, bukan argumen,
Jadi, hal pertama yang perlu kita perhatikan sebelum berdiskusi dan nyerocos kemana-mana, adalah amati dulu; apakah pemahaman kita dan kawan diskusi kita tentang definisi itu sudah pas atau belum. Pahami betul batasan-batasan diskusi yang ada pada setiap definisi, baik yang ada pada topik diskusi maupun pada sebuah argumen.
Jangan malu bertanya pada hal yang belum diketahui
Sebuah diskusi biasanya membutuhkan adanya sikap kesetaraan. Gampangnya, dalam diskusi, identitas harus dikesampingkan dulu. Mau itu dosen, ketua organisasi ataupun mahasiswa, semuanya harus dihargai pendapatnya sebagaimana mereka sama-sama manusia yang punya pikiran.
Tapi sialnya, hal itu kerap dipahami secara salah kaprah. Seolah-olah, siapapun kalau sudah ada dalam forum diskusi, maka semuanya pasti paham tentang topik, definisi, dan hal-hal yang terkait dengan rangkaian diskusi.
Nggak jarang saya menemui kawan diskusi yang sebenarnya dungu, tapi gengsinya itu betul-betul minta ampun. Ketika ada definisi atau argumen yang nggak mereka pahami, mereka ini enggan untuk bertanya bahkan dikasih tahu. Entah, apa yang ada dalam pikiran mereka. Kayak-kayak mereka ini akan merasa rendah kalau harus bertanya ataupun dikasih tahu.
Saya pikir, soal menghargai atau bersikap setara dalam diskusi memang benar di satu sisi. Tapi di lain sisi, ketika ada hal-hal dari kawan diskusi yang belum diketahui, ya jangan malu untuk bertanya. Sebab, ketidakpahaman itu justru malah membikin suasana diskusi makin rumit, dan akhirnya berubah jadi debat kusir.
Terlebih lagi, kalau dipikir-pikir, nggak mau bertanya itu justru bentuk sikap merendahkan diri sendiri. Karena sudah merusak suasana diskusi dengan cara sok tahu alih-alih dungu. Intinya, kalau memang ada hal-hal yang belum mengerti, tanyakan saja di forum. Toh, ya nggak ada potensi salah dari sebuah pertanyaan. Justru yang berpotensi salah adalah sebuah jawaban yang sok tahu.
Dengarkan dulu, baru menanggapi
Mari akui saja, kita pasti pernah ketika ada kawan yang sedang berargumen, tapi kita merasa nggak tahan buat menanggapinya. Pikiran kita seolah-olah sudah paham poin atau akhir dari argumentasinya.
Kalau memang belum pernah, Anda hebat. Tapi kalau pernah, mari mulai sekarang kita hentikan. Walaupun katanlah prediksi kita atas argumen orang lain itu benar, tetap saja jangan sekali-kali memotongnya. Sebabnya, selain kita nggak akan selalu dan sepenuhnya tahu pikiran orang lain, pun ketika kita memotongnya akan mengganggu penalaran orang lain. Dan itu bukan nggak mungkin akan memantik emosinya, lalu terjadi debat kusir.
Sabar saja meskipun memang sudah nangkep poinnya. Dengarkan baik-baik sampai orang itu selesai berargumen. Lagi pula, kalau memang sudah nangkep poinnya, ngapain juga kita harus khawatir nggak bisa menanggapinya.
Diskusi artinya masih merasa bodoh, bukan pintar
Tapi, semua itu nggak akan berarti kalau kita ketika berdiskusi masih punya perasaan sok tahu atau nggak mau mengakui kecacatan argumen diri sendiri. Ngapain berdiskusi kalau ternyata kita hanya ingin dianggap pintar sendiri. Justru menurut saya, ketika kita memutuskan untuk berdiskusi; saling membagi pengetahuan, artinya secara nggak langsung kita sedang mengakui kalau masih bodoh.
Dan supaya nggak kelihatan bodoh-bodoh amat, mari kita senantiasa merasa bodoh melalui aktivitas diskusi. Tentu saja, berdiskusi dengan cara-cara tadi.
Cangkeman.net - Semenjak jadi mahasiswa, kehidupan saya sangat akrab dengan aktivitas diskusi. Walaupun saya termasuk golongan "mahasiswa kupu-kupu", tapi saya cukup sering melakukannya ketika di tongkrongan warung kopi ataupun saat ada ormek membuka acara diskusi umum.
Dan nggak bisa dimungkiri, diskusi memang sebuah terobosan yang cukup ciamik untuk mendapatkan wawasan dari orang yang punya latar belakang berbeda. Modal yang diperlukan pun nggak seperti ketika mendapatkan wawasan dari buku; yang harus keluar uang banyak dan membacanya dulu. Kadang, hanya bermodal badan sehat, niat dan tekad yang kuat itu sudah cukup untuk mengikutinya.
Tapi, walaupun aktivitas diskusi modalnya semurah itu, tetap jangan dianggap remeh. Nggak jarang saya menemui kawan-kawan mahasiswa mengubah aktivitas diskusi jadi debat kusir. Aktivitas yang harusnya menuntun supaya mendapatkan kesimpulan bersama, kadang malah berujung pada saling adu sentimen semata.
Oleh karenanya, siapapun Anda, kalau pernah melakukan itu, mulai sekarang segera hentikan. Selama mengamati aktivitas diskusi kawan-kawan yang menyeleweng itu, saya punya catatan yang bisa Anda sekalian pahami agar ketika diskusi nggak sampai jadi debat kusir.
Sepakati setiap ada definisi yang dirasa belum pas
Hal yang kali pertama jadi sumbu terjadinya debat kusir biasanya adalah gara-gara mengabaikan definisi. Kita kadang sudah paham tentang definisi dari kata tertentu, tapi nggak mau tahu apakah pemahaman kita tentang definisi itu sama atau nggak dengan pemahaman kawan diskusi kita.
Perihal definisi ini memang sepele, tapi dampaknya sangat penting terhadap lancarnya proses diskusi. Sederhananya, definisi ini adalah batasan dalam sebuah diskusi. Dia yang selalu mengiringi serangkaian argumen dalam diskusi kita.
Misalnya saja, ada diskusi dengan topik “meningkatkan personal branding di media sosial”. Pemahaman kita tentang definisi personal branding adalah mempromosikan keahlian diri kita di Instagram. Tapi ternyata, kawan diskusi kita memahami definisi personal branding sebagai proses membohongi orang-orang di Instagram.
Dari situ, kalau kita dan kawan diskusi nggak saling menyadari ada sebuah perbedaan definisi, maka sekuat apapun argumen kita tentang cara meningkatkan personal branding, jelas nggak ada gunanya bagi kawan diskusi kita. Begitupun sebaliknya, kita akan menganggap kawan diskusi bodoh sekalipun argumentasinya kuat. Akhirnya, yang terjadi adalah saling menyodorkan sentimen, bukan argumen,
Jadi, hal pertama yang perlu kita perhatikan sebelum berdiskusi dan nyerocos kemana-mana, adalah amati dulu; apakah pemahaman kita dan kawan diskusi kita tentang definisi itu sudah pas atau belum. Pahami betul batasan-batasan diskusi yang ada pada setiap definisi, baik yang ada pada topik diskusi maupun pada sebuah argumen.
Jangan malu bertanya pada hal yang belum diketahui
Sebuah diskusi biasanya membutuhkan adanya sikap kesetaraan. Gampangnya, dalam diskusi, identitas harus dikesampingkan dulu. Mau itu dosen, ketua organisasi ataupun mahasiswa, semuanya harus dihargai pendapatnya sebagaimana mereka sama-sama manusia yang punya pikiran.
Tapi sialnya, hal itu kerap dipahami secara salah kaprah. Seolah-olah, siapapun kalau sudah ada dalam forum diskusi, maka semuanya pasti paham tentang topik, definisi, dan hal-hal yang terkait dengan rangkaian diskusi.
Nggak jarang saya menemui kawan diskusi yang sebenarnya dungu, tapi gengsinya itu betul-betul minta ampun. Ketika ada definisi atau argumen yang nggak mereka pahami, mereka ini enggan untuk bertanya bahkan dikasih tahu. Entah, apa yang ada dalam pikiran mereka. Kayak-kayak mereka ini akan merasa rendah kalau harus bertanya ataupun dikasih tahu.
Saya pikir, soal menghargai atau bersikap setara dalam diskusi memang benar di satu sisi. Tapi di lain sisi, ketika ada hal-hal dari kawan diskusi yang belum diketahui, ya jangan malu untuk bertanya. Sebab, ketidakpahaman itu justru malah membikin suasana diskusi makin rumit, dan akhirnya berubah jadi debat kusir.
Terlebih lagi, kalau dipikir-pikir, nggak mau bertanya itu justru bentuk sikap merendahkan diri sendiri. Karena sudah merusak suasana diskusi dengan cara sok tahu alih-alih dungu. Intinya, kalau memang ada hal-hal yang belum mengerti, tanyakan saja di forum. Toh, ya nggak ada potensi salah dari sebuah pertanyaan. Justru yang berpotensi salah adalah sebuah jawaban yang sok tahu.
Dengarkan dulu, baru menanggapi
Mari akui saja, kita pasti pernah ketika ada kawan yang sedang berargumen, tapi kita merasa nggak tahan buat menanggapinya. Pikiran kita seolah-olah sudah paham poin atau akhir dari argumentasinya.
Kalau memang belum pernah, Anda hebat. Tapi kalau pernah, mari mulai sekarang kita hentikan. Walaupun katanlah prediksi kita atas argumen orang lain itu benar, tetap saja jangan sekali-kali memotongnya. Sebabnya, selain kita nggak akan selalu dan sepenuhnya tahu pikiran orang lain, pun ketika kita memotongnya akan mengganggu penalaran orang lain. Dan itu bukan nggak mungkin akan memantik emosinya, lalu terjadi debat kusir.
Sabar saja meskipun memang sudah nangkep poinnya. Dengarkan baik-baik sampai orang itu selesai berargumen. Lagi pula, kalau memang sudah nangkep poinnya, ngapain juga kita harus khawatir nggak bisa menanggapinya.
Diskusi artinya masih merasa bodoh, bukan pintar
Tapi, semua itu nggak akan berarti kalau kita ketika berdiskusi masih punya perasaan sok tahu atau nggak mau mengakui kecacatan argumen diri sendiri. Ngapain berdiskusi kalau ternyata kita hanya ingin dianggap pintar sendiri. Justru menurut saya, ketika kita memutuskan untuk berdiskusi; saling membagi pengetahuan, artinya secara nggak langsung kita sedang mengakui kalau masih bodoh.
Dan supaya nggak kelihatan bodoh-bodoh amat, mari kita senantiasa merasa bodoh melalui aktivitas diskusi. Tentu saja, berdiskusi dengan cara-cara tadi.

Posting Komentar