Birokrat Kampus yang Tak Pernah Mati Akal Malak Mahasiswa

Unsulbar News

Penulis:            Budi Prathama
Editor:              Thiara

Cangkeman.net - Program malak yang terstruktur dan terorganisir masih kerap terjadi di lingkungan kampus, mungkin ada banyak kampus mempraktekkan visi terstruktur ini di Indonesia, taruhlah misalnya kampus Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar). 

Memotret kampus Unsulbar nggak boleh hanya dari gedung kampusnya saja yang tinggi, apalagi hanya dilihat sebagai salah satu kampus unggulan di provinsi Sulawesi Barat, lebih dari itu, kampus ini masih memiliki  banyak problem yang disembunyikan di dalam laci. 

Baru-baru ini mantan Rektor dan Wakil Rektor II Unsulbar, ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dana perguruan tinggi oleh penyidik Kejati Sulbar, pada Selasa (29/8/2023). Tersangkanya itu terkait kegiatan pengadaan peralatan laboratorium terpadu Unsulbar tahun anggaran 2020 yang merugikan negara sampai Rp 8,1 miliar. 

Itu sih salah satu problem yang terlihat, percaya atau nggak percaya kampus Unsulbar masih menyimpan berbagai masalah. Salah satu yang jadi masalah karena dampaknya saya sendiri sudah rasakan betul, di mana saat birokrat kampus yang tak pernah mati akal untuk malak mahasiswa. 

Belum lama ini, saya berkunjung ke Unsulbar tepatnya di Fakultas saya dulu, Fakultas MIPA, dengan tujuan mengambil ijazah. Ketika saya sudah mau ngambil ijazah saya itu, tiba-tiba ada persyaratan yang harus saya penuhi supaya bisa ambil ijazah saya itu yang sudah saya perjuangan selama 4 tahun lebih. 

Pikirku, setelah lulus dengan dibuktikannya sudah wisuda, ambil ijazah di kampus itu semudah membalikkan telapak tangan, tetapi di Unsulbar, khususnya di Fakultas MIPA nggak seperti itu, justru yang saya rasakan rasa sebal dan nampak emosi dikit. 

Bukannya saya menjelek-jelekkan Fakultas MIPA tempat saya bisa mendapatkan gelar sarjana, tapi mau gimana lagi, masalah nggak baik disembunyikan. Nggak ingat kah kata-kata dari Baharuddin Lopa, “beranilah menjadi benar, meskipun sendirian.” Sebagaimana diketahui Baharuddin Lopa ini adalah tokoh Mandar dan merupakan Bupati pertama kabupaten Majene. Maka harusnya prinsip ini dipegang oleh kampus Unsulbar, apalagi kampus ini terletak di kabupaten Majene dan menjadi ikon sebagai kota pendidikan. 

Terlebih dari itu, kita kembali ke soal yang pertama, soal saya ambil ijazah. Awalnya saat itu ketika saya ambil ijazah, saya harus dipersyaratkan untuk kumpul buku atau bisa juga diganti dengan bayar Rp 100 ribu. Sebenarnya nggak jadi soal amat sih, tapi saya nggak diberitahukan memang kalau harus kumpul buku dulu baru bisa ambil ijazah. Maka jelas nggak ada pilihan lain, tentu saya menggantinya dengan bayar Rp 100 ribu karena kondisinya yang mendesak. 

Padahal beberapa hari sebelum ke kampus niat ambil ijazah, saya sudah berkomunikasi ke salah satu staf dan menanyakan mau ambil ijazah. Tapi, dia nggak bilang-bilang kalau harus kumpul buku dulu supaya ijazah saya bisa diambil. 

Hal mengejutkan saya juga, waktu itu sih saya nggak berniat untuk ambil legalisir ijazah saya. Tapi salah satu staf memberi saran kepada saya mending ambil memang legalisir ijazah supaya sekalian ke kampus dan nggak bolak-balik lagi. Waktu itu pun saya harus pergi untuk foto copy yang akan ditanda tangani sebagai legalisir ijazah. Setelah semuanya beres, tiba-tiba saya disuguhkan kembali persyaratan untuk bayar Rp 50 ribu sebagai persyaratan kalau mau ambil legalisir ijazah. 

Pikirku, kok nggak beri tahu memang dari awal ya, kalau mau ambil legalisir harus bayar Rp 50 ribu lagi. Ini semua seakan sudah direncanakan dan telah terstruktur untuk malak, caranya memang halus dan sulit kentara kalau itu bentuk malak atau pungli yang dilakukan para birokrat kampus. 

Apa yang terjadi, seangkatan saya yang ambil ijazahnya juga merasakan hal yang sama, nggak ada yang kumpul buku tapi diganti dengan bayar Rp 100 karena baru dikasi tahu saat sudah mendesak ambil ijazah. Jelas saat di hari ambil ijazah lebih memilih bayar karena nggak mungkin kan harus balik lagi guna beli buku dulu, apalagi kalau ijazahnya dibutuhkan segera. Seandainya memberi tahu memang dari awal, itu sih nggak masalah amat, tapi tetap bisa masuk kategori malak. 

Tujuannya apa coba harus kumpul buku, dan kalau tidak bisa kumpul buku bisa diganti dengan bayar Rp 100 ribu. Birokrat harus sadar, sudah cukuplah mahasiswa itu dibebani bayar UKT, jangan tambah lagi untuk dibebani bayar buku lagi, bayar ini dan bayar itu, itu nggak jelas dan bukan kewajiban mahasiswa. 

Satu mahasiswa jumlahnya sih nggak seberapa dengan uang sekian di atas, tapi jika dikalikan dengan ribuan mahasiswa jelas itu sampai seratusan juta juga, kan itu mengerikan, birokrat kampus dapat uang seratusan juta hasil malak dari mahasiswa. Ini jelas jadi tanda tanya besar. 

Menurut hemat saya, apa yang dilakukan kampus Unsulbar, terkhusus Fakultas MIPA dan mungkin juga berlaku di Fakultas lain, program bayar Rp 100 ribu kalau mau ambil ijazah dan ditambah Rp 50 ribu kalau ambil legalisir, jelas nggak masuk akal dan peruntukannya nggak jelas. 

Terlebih yang Rp 50 ribu itu, peruntukannya hanya biaya foto copy dan tanda tangan saja, maka harus bayar Rp 50 ribu. Masa iya, legalisir saja bayar Rp 50 ribu, itu kentara sekali kalau program malak. 

Maka dari itu, program terorganisir yang dilakukan birokrat kampus untuk malak mahasiswa harus segera dihentikan, selain merugikan mahasiswa, juga bisa merusak citra kampus, dan jelas ini merusak sisi kemanusian para birokrat kampus yang mempraktekkan agenda ini. 

Tapi apalah daya, birokrat kampus memang nggak pernah mati akal untuk malak mahasiswa, dengan retorika memukau dan permainannya yang halus, program terorganisir ini terus dilestarikan dan seakan nggak ada masalah apa-apa.     

Budi Prathama
Pemuda yang dilahirkan di tanah Mandar dan berkesempatan menjadi alumni mahasiswa jurusan Matematika, namun lebih suka nulis lepas sambil minum kopi, bisa ngobrol di instagram @budi.prathama