Cania Citta, Logical Fallacy, dan Mari Berkomentar dengan Cerdas

Tribun

Penulis:        Afiqul Adib
Editor:          Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Di zaman sekarang, kita tidak perlu susah-susah untuk sekedar tertawa. Karena di media sosial banyak sekali kelucuan yang terjadi. Meskipun tentu saja bukan lucu karena kecerdasannya.

Memang sih, di media sosial kita bebas berekspresi se-alay mungkin. Kita juga bebas mengomentari ke-alay-an orang lain. Bahkan kita juga bebas untuk marah jika ke-alay-an kita dikomentari orang lain. Namun kebebasan tersebut agaknya mulai kebablasan dan ngawur.

Banyak komentar yang dilemparkan begitu saja tanpa melalui kerangka pemikiran yang solid. Akhirnya komentar tersebut justru menyerang si Empunya sendiri. Kesalahan berfikir ini ternyata disebut dengan Logical Fallacy. Begitu ungkap Cania Citta dalam sebuah konten Youtube Geolive.

Sekilas tentang Cania Citta Irlanie. Perempuan yang akrab disapa Cania (baca: kaniya) merupakan pemikir muda yang inspiratif dan terkesan “intelektual”, hal ini tersirat dari kosa kata “asing” yang sering ia lontarkan ketika berbicara.

Cania mulai hangat diperbincangkan setelah menyatakan kesetujuannya dengan LGBT di ILC pada ahir tahun 2017. Menurutnya, Negara terlalu jauh jika sampai mengurusi dengan siapa seseorang harus berhubungan.

Pemikiran Sarjana Ilmu Politik di UI ini sering dianggap liberal dan bermasalah oleh beberapa pihak karena tidak sesuai dengan pandangan masyarakat pada umumnya. Terlepas dari berkerudung atau tidaknya si Cania ini, bagi saya ia hanya melawan argumen dengan logika, bukan dengan pandangan masyarakat pada umumnya.

Karena alasan demikian, Cania sering dihujat oleh netijen di kolom komentar, namun yang menarik adalah respon Cania terhadap kritik. Ia justru mentertawakan komentar mereka yang cenderung tidak logis dan terkesan serampangan.

1. Harus Bertemu Orangnya

Banyak netijen yang berkomentar, “kalau mau kritik ya temui orangnya dong, jangan cuma berani di belakang doang”. Komentar seperti ini di telinga Cania terdengar ngawur dan seratus persen tidak logis. Sebab, kalau prinsip ini kita terapkan secara masif dan terstruktur maka wacana akademik akan kacau.

Bayangkan saja kalau kita ingin menulis kritik tentang “Das Capital” maka kita harus bertemu Karl Marx. Demikian juga kalau kita ingin mengkritik Abu Jahal atau Fir’an maka kita juga harus bertemu dengan beliau? masalahnya mereka kan sudah lama meninggal, bagaimana mau bertemu? Lantas apakah ketika kita mengkritik beliau-beliau yang sudah meninggal maka kritik kita akan dianggap invalid?

Sangat tidak logis jika kita menganggap bahwa kritik itu harus bertemu orangnya langsung atau harus live debate seperti debat Pilpres dan harus one on one sambil diteriaki pendukung dan penghujat masing-masing agar kritikan kita bisa diterima.

Tapi yang lebih parah adalah komentar tersebut justru menyerang si Empunya sendiri, karena kalau kita memakai logika demikian maka seharusnya netijen pun harus menemui si Cania dulu untuk mengkritik, kenapa malah mengkritik di kolom komentar? Ajakin COD dong.

2. Harus Lebih Hebat dari yang Dikritik

Dalam video Cania tentang kritik terhadap pendapat Deddy Corbuzier, banyak juga netijen yang mengatakan, “saya rasa anda tidak lebih pintar dari om Deddy”, atau bahkan “jangan mengkritik dulu sebelum anda bisa lebih kaya dari om Deddy”.

Pertanyaannya, apakah kalau kita ingin mengkritik seseorang maka kita harus lebih hebat dalam hal apapun? Padahal kita kan cuma mengkritik beberapa hal saja dari orang tersebut, kenapa harus lebih hebat dalam segala aspek dari mulai kemampuan memasak sampai kemampuan menikung sebuah hubungan yang sedang hangat-hangatnya.

Kalau ini diterapkan, maka penyanyi hanya akan bisa dikomentari oleh penyanyi, artis hanya bisa dikomentari artis, bahkan Presiden pun hanya bisa dikomentari oleh seorang Presiden. Dan harusnya mereka juga harus dianggap liberal dulu untuk mengomentari si Cania ini.

3. Mayoritas Selalu Benar

“Dislike komentar ini lebih banyak daripada like-nya, pendapat anda salah”.

Pendapat yang lebih tidak disukai adalah salah, dan pendapat yang banyak disukai adalah benar. Dalam daftar logical fallacy ini disebut sebagai “argumentum ad populum”, yaitu ketika sebuah pendapat dinilai lebih benar hanya karena lebih banyak orang yang menyetujuinya. Padahal, “Wrong is wrong even if everyone is doing it, right is right even if no one is doing it”.

Yaps, intinya meski ada lima juta orang yang mengatakan pendapat tersebut salah, hal itu tidak merubah esensi pendapat tersebut menjadi benar.

4. Penyerangan Personal

“Orang ini komunis”.

“Nih orang liberal pasti”.

“Dasar kafir, tobat gobl*k”.

Tidak setuju akan sebuah pendapat merupakan hal yang boleh-boleh saja, namanya juga beda orang beda pemikiran. Namun, respons terhadap ketidaksetujuan harusnya bisa lebih bermartabat. Bisa kan menyampaikan ketidaksetujuan dengan komentar kita tidak berbau SARA?

Menyerang personal merupakan tindakan rasis. Dan tindakan rasis itu jahat. Kalau kita memang tidak setuju dengan sesuatu, maka yang dikritik adalah pendapatnya, bukan personalnya.

Afiqul Adib

Fresh graduate yang suka hidup hemat untuk foya-foya. Dapat ditemui di Instagram @aduib07