Hentikan Kebiasaan Mencatat Sekarang Juga!
![]() |
Judit Peter on Pexels |
Penulis: Chandra PA
Editor: Fatio Nurul Efendi
Cangkeman.net - Pernah nggak sih kamu menyadari kalau kebiasaan mencatat itu punya banyak mudarat, alih-alih memberi kemudahan dan manfaat.
Saya baru menyadarinya saat mendapati jumlah catatan di aplikasi notes ponsel saya sudah membludak mencapai ribuan. Lalu saya mulai meluangkan waktu untuk menyeleksi satu per satu catatan tersebut. Memutuskan mana yang hendak dihapus dan mana yang hendak disimpan. Ternyata aktivitas ini menguras cukup banyak energi.
Apalagi setelah saya selesai menyeleksi catatan-catatan tadi dan justru muncul kebingungan baru. Nantinya catatan-catatan tersebut mau saya apakan ya? Apa iya bakal berguna di masa depan? atau cuma buat koleksi saja?
Saya jadi mikir-mikir bahwasannya apa yang diajarkan pada saya di sekolah, yaitu kebiasaan mencatat itu nggak sepenuhnya bermanfaat. Ya memang sih dalam beberapa kasus kebiasaan mencatat ini ada manfaatnya, misalnya bikin kita jadi nggak ketinggalan materi di kelas, atau bikin kita jadi bisa mengidentifikasi masalah finansial dari catatan keuangan sederhana seperti mencatat pemasukan dan pengeluaran bulanan.
Tapi di sisi lain, berdasarkan pengalaman saya, kebiasaan mencatat ternyata juga memberi banyak mudarat, di antaranya:
1. Bikin malas mengingat
Coba deh tulis nama-nama orang yang kamu hafal nomor ponselnya. Bisa dihitung jari bukan? Padahal seingat saya sebelum punya ponsel dulu saya bisa menghafal nomor-nomor kontak mulai dari milik bapak, ibu, kakak-kakak, dan beberapa sahabat tanpa perlu mencatatnya. Sekarang? boro-boro. Mungkin sebagian nomor masih bisa saya ingat, seperti nomor ponsel saya sendiri dan nomor ponsel bapak saya yang nggak pernah ganti itu. Di luar itu jangan tanya, sudah pasti lupa.
Usut punya usut saya jadi pelupa begini karena setelah mencatat nomor kontak seseorang di ponsel saya akan langsung melupakannya begitu saja. Sebab saya mikirnya kalau sudah dicatat ya nggak perlu diingat lagi, toh bisa tinggal dicari saja nanti kalau pas butuh. Kan sudah tersimpan di memori gawai juga. Nah, dalam psikologi fenomena ini disebut sebagai intentional forgetting. Sebuah kebiasaan di mana saat mencatat sesuatu kita merasa tidak perlu menyimpannya lagi dalam memori otak, karena merasa sudah "mengamankannya" dalam bentuk catatan.
Inilah alasan mengapa ada tipe orang yang rajin mencatat di kelas, tapi kalau ditanya tadi nyatet apa jawabnya lupa. Sementara orang-orang yang nggak mencatat tapi memperhatikan, justru bisa mengingat semua materi yang sudah dijelaskan di luar kepala.
2. Bikin menunda-nunda pekerjaan
Bagi saya kebiasaan mencatat justru membuat saya terbiasa menunda-nunda pekerjaan. Misalnya suatu hari saya mendapat sebuah ide cemerlang sewaktu sedang berhenti di lampu merah. Saya pun langsung mencatatnya agar bisa dikerjakan nanti. Pikir saya kalau tidak segera dicatat idenya bisa hilang ditelan bumi.
Cangkeman.net - Pernah nggak sih kamu menyadari kalau kebiasaan mencatat itu punya banyak mudarat, alih-alih memberi kemudahan dan manfaat.
Saya baru menyadarinya saat mendapati jumlah catatan di aplikasi notes ponsel saya sudah membludak mencapai ribuan. Lalu saya mulai meluangkan waktu untuk menyeleksi satu per satu catatan tersebut. Memutuskan mana yang hendak dihapus dan mana yang hendak disimpan. Ternyata aktivitas ini menguras cukup banyak energi.
Apalagi setelah saya selesai menyeleksi catatan-catatan tadi dan justru muncul kebingungan baru. Nantinya catatan-catatan tersebut mau saya apakan ya? Apa iya bakal berguna di masa depan? atau cuma buat koleksi saja?
Saya jadi mikir-mikir bahwasannya apa yang diajarkan pada saya di sekolah, yaitu kebiasaan mencatat itu nggak sepenuhnya bermanfaat. Ya memang sih dalam beberapa kasus kebiasaan mencatat ini ada manfaatnya, misalnya bikin kita jadi nggak ketinggalan materi di kelas, atau bikin kita jadi bisa mengidentifikasi masalah finansial dari catatan keuangan sederhana seperti mencatat pemasukan dan pengeluaran bulanan.
Tapi di sisi lain, berdasarkan pengalaman saya, kebiasaan mencatat ternyata juga memberi banyak mudarat, di antaranya:
1. Bikin malas mengingat
Coba deh tulis nama-nama orang yang kamu hafal nomor ponselnya. Bisa dihitung jari bukan? Padahal seingat saya sebelum punya ponsel dulu saya bisa menghafal nomor-nomor kontak mulai dari milik bapak, ibu, kakak-kakak, dan beberapa sahabat tanpa perlu mencatatnya. Sekarang? boro-boro. Mungkin sebagian nomor masih bisa saya ingat, seperti nomor ponsel saya sendiri dan nomor ponsel bapak saya yang nggak pernah ganti itu. Di luar itu jangan tanya, sudah pasti lupa.
Usut punya usut saya jadi pelupa begini karena setelah mencatat nomor kontak seseorang di ponsel saya akan langsung melupakannya begitu saja. Sebab saya mikirnya kalau sudah dicatat ya nggak perlu diingat lagi, toh bisa tinggal dicari saja nanti kalau pas butuh. Kan sudah tersimpan di memori gawai juga. Nah, dalam psikologi fenomena ini disebut sebagai intentional forgetting. Sebuah kebiasaan di mana saat mencatat sesuatu kita merasa tidak perlu menyimpannya lagi dalam memori otak, karena merasa sudah "mengamankannya" dalam bentuk catatan.
Inilah alasan mengapa ada tipe orang yang rajin mencatat di kelas, tapi kalau ditanya tadi nyatet apa jawabnya lupa. Sementara orang-orang yang nggak mencatat tapi memperhatikan, justru bisa mengingat semua materi yang sudah dijelaskan di luar kepala.
2. Bikin menunda-nunda pekerjaan
Bagi saya kebiasaan mencatat justru membuat saya terbiasa menunda-nunda pekerjaan. Misalnya suatu hari saya mendapat sebuah ide cemerlang sewaktu sedang berhenti di lampu merah. Saya pun langsung mencatatnya agar bisa dikerjakan nanti. Pikir saya kalau tidak segera dicatat idenya bisa hilang ditelan bumi.
Tapi tanpa terasa pagi berganti menjadi siang dan siang berganti malam. Ternyata karena disibukkan oleh urusan lain, saya jadi tidak sempat mengerjakan ide cemerlang tadi. Lalu saat hendak tiduran datanglah ide bombastis lain yang sama sekali baru dan berbeda. Tentu saja saya catat lagi untuk dikerjakan esoknya. Begitu hari berganti ada ide seru lain yang datang untuk dicatat lagi, begitu seterusnya, sementara ide-ide yang lalu belum juga dieksekusi.
Saya jadi merasa kalau saya lebih rajin mencatat ide daripada mengeksekusinya. Menunda-nunda hal yang sebenarnya bisa saya kerjakan saat itu dengan cara mencatatnya, alih-alih mengerjakannya. Mencatat seakan justru jadi alat untuk membunuh ide-ide saja.
3. Melestarikan ide jelek
Stephen King, seorang pengarang prolifik asal amrik, pernah bilang bahwa buku catatan adalah tempat lahirnya ide-ide jelek. Stephen King bersikukuh bahwa dirinya tidak butuh buku catatan ataupun kebiasaan catat mencatat. Baginya jika suatu ide mudah dilupakan begitu saja berarti ide itu memang jelek dan layak dilupakan. Sementara ide yang bagus tanpa perlu dicatat pun akan tetap menempel di ingatan.
Saya sih setuju dengan beliau, bukankah ide jelek sudah selayaknya dilupakan, alih-alih dicatat dan dilestarikan.
Senada dengan pendapat di atas, Paul McCartney, salah satu otak di balik lagu-lagu hit The Beatles, pernah mengutarakan hal serupa. McCartney menyampaikan, di awal karir saat mencipta lagu-lagu hit The Beatles mereka nggak pernah mencatat atau merekam ide lagunya. Selain karena alat rekam jaman dulu tidak sepraktis sekarang, para personil The Beatles ingin menciptakan lagu yang mudah diingat pendengarnya.
Jadi proses kreasi Paul McCartney, dkk, adalah mereka membikin sebuah draft lagu tanpa merekam atau mencatatnya. Lalu setelah selesai mereka akan pergi berjalan-jalan. Esok harinya, mereka akan memainkan ulang lagu yang mereka ciptakan kemarin. Jika mereka kesulitan mengingat-ingatnya berarti lagu itu jelek, sebab semua orang pasti juga akan mudah melupakannya. Tapi, jika mereka bisa mengingat lagu mereka dengan mudah berarti lagu itu bagus, sebab semua orang juga pasti akan mudah mengingatnya.
Itulah alasan mengapa lagu-lagu hit The Beatles catchy dan gampang diingat. Masuk akal bukan?
*****
Oleh karenanya mulai sekarang saya semakin yakin memutuskan untuk menghentikan kebiasaan mencatat. Sebab ternyata kebiasaan tersebut banyak mengandung mudarat.
Kalau nggak mencatat apa nggak takut lupa? Ngapain takut. Saya percaya pada konsep zeigarnik effect di mana hal-hal yang belum terselesaikan dalam hidup akan terus mengganggu alam bawah sadar dan alam pikir kita. Sehingga tanpa perlu mengingatnya pun pasti akan ada perasaan ngganjel dalam diri kita, kalau ada sesuatu yang belum dituntaskan sampai benar-benar tuntas tas.
Jadi kelak saya nggak perlu mencatat. Saya hanya perlu mengerjakan hal-hal yang mengganjal di benak saya saja. Tapi ini keputusan personal yagesya. Kalau menurut kamu kebiasaan mencatat memberi banyak manfaat ya silakan diteruskan. Itung-itung biar malaikat Raqib dan Atid punya saingan.

Posting Komentar