Jangan Naif! Nilai Ujian Itu Memang Angka, Tapi Bukan Sekadar
![]() |
Louis Bauer on Pexels |
Penulis: Achmad Fauzan
Editor: Fatio Nurul Efendi
Cangkeman.net - Ujian akhir semester genap telah usai. Bagi kalangan mahasiswa, selain liburan jadi waktu yang ditunggu-tunggu, pun geliat rasan-rasan tentang nilai sudah niscaya dilakukan oleh mereka.
Jenis rasan-rasan mereka biasanya terbagi dua; kalau nggak optimis, ya negatif. Alasannya pun variatif. Tapi, umumnya yang optimis itu karena mereka merasa udah disiplin sepanjang satu semester, sementara yang pesimis nggak. Makanya nggak heran kalau kaum yang pesimis ini biasanya cerewet merayu-rayu dosen dengan banyak alasan, walaupun sebenarnya karena ketidaksiplinan mereka sendiri.
Sialnya, saya (dulu) bukan termasuk yang pesimis ataupun optimis, melainkan termasuk kaum yang nihilis. Kalau Anda masih kali pertama mendengarnya, kaum mahasiswa nihilis dalam hal ini adalah mereka yang menganggap nilai bukanlah segala-galanya. Bahkan, pada titik paling radikal, mereka nggak menganggap nilai ujian sebagai sesuatu yang ada. Luar biasa, bukan?
Namun, seiring tumbuh dan kembangnya kepribadian, sekarang saya menyadari betapa tololnya anggapan saya dulu tentang nilai ujian. Saya dulu bisa dibilang tipikal mahasiswa yang idealis tentang Pendidikan.
“Ah, nilai ujian itu cuman angka, buatan manusia pula. Yang penting, kan, kompetensi pengetahuan, bukan nilai ujian yang dicari lewat kedisiplinan”, begitu anggapan saya dulu, yang kalau dilihat sekilas terkesan keren, tapi sebenarnya sebuah bentuk kenaifan.
Saya yakin salah satu dari Anda atau kawan-kawan mahasiswa lainnya pasti pernah berpikiran seperti saya. Sebelum terlambat, saya perlu mengingatkan bahwa selama masih jadi mahasiswa, baik kita ini kritis, idealis, nihilis, ataupun apatis dengan nilai ujian, pada gilirannya mau nggak mau kita akan tetap harus tunduk pada nilai ujian.
Mengapa begitu?
Kita ini siapa dan bisa apa?
Kalau menganggap nilai ujian itu cuma pembodohan atau, meminjam perkataan Rocky Gerung, sekadar kebutuhan administrasi ketika mau melamar kerja, lantas kenapa kita tetap saja jadi mahasiswa? Bukankah semua yang kita lakukan di perkuliahan itu sejatinya berujung pada nilai ujian?
Tentu saja saya cukup mengerti kalau nilai itu memang cuman angka, buatan manusia, dan nggak sepenuhnya jadi representasi isi kepala kita. Tapi, coba pikirkan baik-baik, apa yang bisa kita lakukan sehingga memungkinkan sebuah nilai itu dihilangkan dalam sistem perkuliahan, bahkan pendidikan? Ingat! Kita ini cuma mahasiswa, bukan Menteri Pendidikan.
“Ya, kita harus mengumpulkan massa biar aspirasi kita didengarkan dan diterapkan sama Menteri Pendidikan”
Wooo… ya nggak semudah itu, brodi. Perihal nilai ujian ini juga erat kaitannya dengan kondisi industri, sistem ekonomi, khususnya psikologis kawan-kawan mahasiswa lainnya. Seberapa banyak kawan mahasiswa di luar sana yang pikirannya sedari kecil udah ditanamkan bahwa nilai ujian di perkuliahan akan menentukan pekerjaan mereka? Nggak usah disurvei, udah jelas buanyak.
Terlebih lagi, bagaimana cara kita melawan sistem industri dan ekonomi supaya nilai ujian dihilangkan karena itu cuma jadi kebutuhan administrasi aja? Tentu saja Anda pusing memikirkannya. Lha wong sekelas filsuf aja sampai sekarang belum ada yang bisa memecahkan, apalagi Anda yang tiap akhir bulan masih memikirkan gimana cari pinjaman!
Kuliah nggak hanya mengemban pengetahuan, tapi juga moral
Kita boleh-boleh saja kritis terhadap nilai ujian, mementingkan kompetensi pengetahuan daripada angka alih-alih melawan sistem. Tapi, saya kira nggak ada gunanya kalau yang kita lakukan hanya meremehkannya di setiap akhir semester. Jika nilai ujian buruk, kita pasti akan mengulang mata kuliah, bahkan bisa jadi sampai semester tua.
Ya, sah-sah aja sebenarnya. Nggak jarang juga kawan-kawan mahasiswa bersedia secara ikhlas dan tabah jadi donatur kampus selama enam tahun. Tinggal kitanya aja, mau apa nggak hidup seperti mereka. Udah sengsara pikiran, sengsara dompet pula.
Di samping itu, pikirkan juga bahwa kita kuliah itu nggak hanya mengemban pengetahuan, tetapi juga moral. Kita punya tanggung jawab besar, terutama yang kuliahnya dibiayai orang tua. Coba bayangkan, relakah melihat orang tua bersusah payah membiayai kuliah berjuta-juta sampai tiga tahun lebih, sementara yang dibiayai masih berkutat dengan upaya melawan sistem?
Saya yakin, betapapun orang tua itu mampu dan tulus membiayai kuliah anaknya, tetaplah mereka berharap anaknya lulus dan hidup mandiri. Paling nggak, mereka ingin bangga dengan adanya title di belakang nama anaknya.
Sudah waktunya berpikir realistis
Saya nggak bermaksud melarang buat melawan sistem, apalagi melarang buat jadi aktivis. Sama sekali nggak. Tapi, setidaknya cobalah kita berpikir realistis. Akui saja kalau sistem yang hendak dilawan itu memang kuat dan rumit. Jangan kemudian sok melawan sistem, tapi sebetulnya itu hanya jadi dalih melanggengkan kemalasan.
Apa salahnya mengikuti sistem dulu sampai lulus, lalu kerja sembari bergerak jadi aktivis. Bukannya saya apatis, saya sadar akan kebengisan sistem ini, tapi juga nggak tahu bagaimana cara melawannya. Sejauh ini, saya kira yang bisa dilakukan, ya, tetap mengikuti, tapi juga nggak tenggelam di dalamnya. Ngeli ning ora keli, kalau kata orang Jawa.
Cangkeman.net - Ujian akhir semester genap telah usai. Bagi kalangan mahasiswa, selain liburan jadi waktu yang ditunggu-tunggu, pun geliat rasan-rasan tentang nilai sudah niscaya dilakukan oleh mereka.
Jenis rasan-rasan mereka biasanya terbagi dua; kalau nggak optimis, ya negatif. Alasannya pun variatif. Tapi, umumnya yang optimis itu karena mereka merasa udah disiplin sepanjang satu semester, sementara yang pesimis nggak. Makanya nggak heran kalau kaum yang pesimis ini biasanya cerewet merayu-rayu dosen dengan banyak alasan, walaupun sebenarnya karena ketidaksiplinan mereka sendiri.
Sialnya, saya (dulu) bukan termasuk yang pesimis ataupun optimis, melainkan termasuk kaum yang nihilis. Kalau Anda masih kali pertama mendengarnya, kaum mahasiswa nihilis dalam hal ini adalah mereka yang menganggap nilai bukanlah segala-galanya. Bahkan, pada titik paling radikal, mereka nggak menganggap nilai ujian sebagai sesuatu yang ada. Luar biasa, bukan?
Namun, seiring tumbuh dan kembangnya kepribadian, sekarang saya menyadari betapa tololnya anggapan saya dulu tentang nilai ujian. Saya dulu bisa dibilang tipikal mahasiswa yang idealis tentang Pendidikan.
“Ah, nilai ujian itu cuman angka, buatan manusia pula. Yang penting, kan, kompetensi pengetahuan, bukan nilai ujian yang dicari lewat kedisiplinan”, begitu anggapan saya dulu, yang kalau dilihat sekilas terkesan keren, tapi sebenarnya sebuah bentuk kenaifan.
Saya yakin salah satu dari Anda atau kawan-kawan mahasiswa lainnya pasti pernah berpikiran seperti saya. Sebelum terlambat, saya perlu mengingatkan bahwa selama masih jadi mahasiswa, baik kita ini kritis, idealis, nihilis, ataupun apatis dengan nilai ujian, pada gilirannya mau nggak mau kita akan tetap harus tunduk pada nilai ujian.
Mengapa begitu?
Kita ini siapa dan bisa apa?
Kalau menganggap nilai ujian itu cuma pembodohan atau, meminjam perkataan Rocky Gerung, sekadar kebutuhan administrasi ketika mau melamar kerja, lantas kenapa kita tetap saja jadi mahasiswa? Bukankah semua yang kita lakukan di perkuliahan itu sejatinya berujung pada nilai ujian?
Tentu saja saya cukup mengerti kalau nilai itu memang cuman angka, buatan manusia, dan nggak sepenuhnya jadi representasi isi kepala kita. Tapi, coba pikirkan baik-baik, apa yang bisa kita lakukan sehingga memungkinkan sebuah nilai itu dihilangkan dalam sistem perkuliahan, bahkan pendidikan? Ingat! Kita ini cuma mahasiswa, bukan Menteri Pendidikan.
“Ya, kita harus mengumpulkan massa biar aspirasi kita didengarkan dan diterapkan sama Menteri Pendidikan”
Wooo… ya nggak semudah itu, brodi. Perihal nilai ujian ini juga erat kaitannya dengan kondisi industri, sistem ekonomi, khususnya psikologis kawan-kawan mahasiswa lainnya. Seberapa banyak kawan mahasiswa di luar sana yang pikirannya sedari kecil udah ditanamkan bahwa nilai ujian di perkuliahan akan menentukan pekerjaan mereka? Nggak usah disurvei, udah jelas buanyak.
Terlebih lagi, bagaimana cara kita melawan sistem industri dan ekonomi supaya nilai ujian dihilangkan karena itu cuma jadi kebutuhan administrasi aja? Tentu saja Anda pusing memikirkannya. Lha wong sekelas filsuf aja sampai sekarang belum ada yang bisa memecahkan, apalagi Anda yang tiap akhir bulan masih memikirkan gimana cari pinjaman!
Kuliah nggak hanya mengemban pengetahuan, tapi juga moral
Kita boleh-boleh saja kritis terhadap nilai ujian, mementingkan kompetensi pengetahuan daripada angka alih-alih melawan sistem. Tapi, saya kira nggak ada gunanya kalau yang kita lakukan hanya meremehkannya di setiap akhir semester. Jika nilai ujian buruk, kita pasti akan mengulang mata kuliah, bahkan bisa jadi sampai semester tua.
Ya, sah-sah aja sebenarnya. Nggak jarang juga kawan-kawan mahasiswa bersedia secara ikhlas dan tabah jadi donatur kampus selama enam tahun. Tinggal kitanya aja, mau apa nggak hidup seperti mereka. Udah sengsara pikiran, sengsara dompet pula.
Di samping itu, pikirkan juga bahwa kita kuliah itu nggak hanya mengemban pengetahuan, tetapi juga moral. Kita punya tanggung jawab besar, terutama yang kuliahnya dibiayai orang tua. Coba bayangkan, relakah melihat orang tua bersusah payah membiayai kuliah berjuta-juta sampai tiga tahun lebih, sementara yang dibiayai masih berkutat dengan upaya melawan sistem?
Saya yakin, betapapun orang tua itu mampu dan tulus membiayai kuliah anaknya, tetaplah mereka berharap anaknya lulus dan hidup mandiri. Paling nggak, mereka ingin bangga dengan adanya title di belakang nama anaknya.
Sudah waktunya berpikir realistis
Saya nggak bermaksud melarang buat melawan sistem, apalagi melarang buat jadi aktivis. Sama sekali nggak. Tapi, setidaknya cobalah kita berpikir realistis. Akui saja kalau sistem yang hendak dilawan itu memang kuat dan rumit. Jangan kemudian sok melawan sistem, tapi sebetulnya itu hanya jadi dalih melanggengkan kemalasan.
Apa salahnya mengikuti sistem dulu sampai lulus, lalu kerja sembari bergerak jadi aktivis. Bukannya saya apatis, saya sadar akan kebengisan sistem ini, tapi juga nggak tahu bagaimana cara melawannya. Sejauh ini, saya kira yang bisa dilakukan, ya, tetap mengikuti, tapi juga nggak tenggelam di dalamnya. Ngeli ning ora keli, kalau kata orang Jawa.

Posting Komentar