Mengunjungi Masa Lalu Adalah Kegiatan Paling Sia-sia

Miray Bostancı on Pexels
Editor: Nurul Fatin Sazanah
Kunjungan saya ke Malang bukan tanpa alasan. Setidaknya saya pernah menjadi anak kos di kota tersebut karena pernah kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri di sana. Meski hanya 4 tahun, namun kenangan yang didapat sangat buanyak.
Kenangan tersebut tidak hanya tentang hubungan mesra bersama pasangan. Hal-hal kecil seperti makan soto ayam di belakang kampus, nyari promo barang murah, sampai berlama-lama singgah di kampus hanya untuk memanfaatkan wifi merupakan sekumpulan hal indah dan sangat membekas.
Tentunya kita sering mengalami masa di mana perjalanan hidup ini terasa sangat melelahkan, kemudian pikiran liar kita tiba-tiba singgah di masa lalu—sekedar menikmati tawa lepas dengan teman sejawat. Kemudian hati kecil berbisik “zaman biyen penak yo”.
Karena itu, ketika akan ke Malang saya sudah merencanakan mengunjungi tempat-tempat yang sering dikunjungi di masa lalu, sekedar menikmati suasana kuliah dahulu dan membayangkan momen bahagia di zaman itu.
Dalam perjalanan menuju Malang, saya jarang sekali tidur, beberapa kali melihat keluar jendela bus yang saya tumpangi untuk mengamati jalanan yang dulu sering saya lewati. Entahlah, mengenang masa lalu memang pekerjaan yang menyenangkan.
Setibanya di Malang, saya benar-benar hanya mengunjungi tempat makan, warung kopi, lesehan, melihat bangunan yang dulu sering dilewati, serta ngobrol bersama teman sejawat dari malam sampai menjelang pagi seperti yang dahulu sering dilakukan.
Di awal, kegiatan tersebut benar-benar menyenangkan. Sampai saya sadar bahwa menyapa masa lalu adalah kesia-siaan. Kita bisa saja pergi ke suatu tempat yang dulunya sering disinggahi bersama orang yang sama, di waktu yang sama, memesan makanan dan minuman yang sama. Namun, kenangan yang didapat tidak akan pernah sama.
Ini sama seperti ungkapan bahwa ketika dewasa, kita bisa saja membeli bola plastik dan beberapa sandal yang digunakan sebagai gawang untuk bermain sepak bola. Namun kenangannya tidak akan pernah terbeli.
Setelah beberapa hari di Malang, saya pun harus kembali ke Jogja dengan pikiran yang masih gundah. Tidak seperti ekspektasi yang saya idam-idamkan. Padahal, saya sudah menyapa kenangan manis beberapa waktu silam.
Hati dan pikiran saya beradu argumen dengan sengit. Dari lamunan tersebut saya menyimpulkan beberapa hal. Pertama, ekspektasi memang selalu berbeda dengan realita. Serinci apapun kita merancang rencana, hasilnya pasti akan berbeda dengan ekspektasi. Itu adalah hal dasar yang pasti terjadi, tidak bisa tidak.
Kedua, harus diakui bahwa kita memang terlalu sering meromantisasi masa lalu. Menganggap bahwa masa lalu adalah hal yang membahagiakan secara berlebihan.
Saat sesuatu menjadi kenangan, kita cenderung mengingat hal-hal yang positif saja, dan mengabaikan perasaan negatif. Padahal dalam sebuah momen, kedua hal tersebut adalah satu kesatuan yang utuh.
Misalnya, kita sering membayangkan betapa bahagianya berbicara secara intim dengan teman dekat kita. Namun setelah bertemu dengan teman yang dimaksud, kita merasa bahwa teman kita agak menyebalkan dan tidak semenyenangkan dulu. Padahal bisa saja sejak dulu teman kita memang agak menyebalkan, namun romantisasi masa lalu membuat hal-hal negatif terlupakan.
Ketiga, kita cenderung menginginkan sesuatu yang tidak atau belum bisa kita miliki. Sesuatu memang akan terasa lebih berharga jika sudah tidak dimiliki dan terasa menyenangkan jika sudah terlewati.
Sama halnya dengan ungkapan “mantan terlihat lebih cakep saat putus.” Kenapa bisa terjadi? Ya karena saat masih memiliki atau saat masih dalam genggaman, kita tidak menghargai hal tersebut. Dan ketika genggaman itu harus lepas, perasaan rindu dan penyesalan itu mulai bermunculan.
Kita pasti memiliki beberapa kenangan indah yang tidak terlupakan. Dan wajar jika kita ingin kembali ke masa tersebut. Namun, kenangan adalah jalan buntu yang tidak bisa dikunjungi lagi. Sekedar saran, bagi Anda yang merasakan hal tersebut, berdamailah, Anda akan tetap baik-baik saja meski kehidupan tidak sebaik dulu.
Sesampainya di Jogja, saya sadar telah melakukan hal yang kurang efektif dengan berniat mengunjungi masa lalu. Namun, saya tidak menyesalinya, malahan saya bersyukur karena mendapatkan beberapa hal untuk diambil pelajarannya. Mengenang masa lalu memang sangat menyenangkan, meski tidak pernah benar-benar berguna. Iya, kegiatan tersebut sangat amat sia-sia.

Posting Komentar