Ormek Kok Cuma Bikin Pamflet?

Medium

Penulis:            Achmad Fauzan
Editor:             Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Beberapa waktu yang lalu, hari raya tahun baru Islam telah dirayakan oleh semua umat muslim. Berbagai pamflet berisi ucapan “selamat” mencuat di lini media, khususnya pada postingan dan story di beberapa akun media sosial. Sebagai mahasiswa, tentu saya menjumpainya di akun-akun sosmed official ormek ataupun kontak WhatsApp teman saya yang jadi pengurus.

Ucapan selamat hari raya dari berbagai ormek itu nggak hanya saat 1 Muharram kemarin, hampir di semua hari raya, mereka selalu ikut serta mengucapkannya. Desain pamfletnya juga selalu menarik, komposisi warnanya yang memadu dan nggak lupa dengan ornamen logo ormek pun melengkapi isi pamflet ucapan “selamat hari raya” itu.

Tapi walaupun menarik, jujur-jujuran saja, ketika melihat pamflet ucapan “selamat hari raya” dari ormek-ormek, nggak lebih dari satu detik saya sudah menskipnya. Bukan saya benci dengan ormek tertentu atau hari rayanya, pasalnya pamflet dari ormek itu, ya. sama sekali nggak ada gunanya ‘secara sosial’. Ngapain gitu dilihat lama-lama, bahkan dilihat pun saya rasa nggak perlu.

Saya punya sekelumit alasan kenapa ormek perlu menyudahi membikin pamflet ucapan “selamat hari raya” yang nggak guna itu.

Sudah terwakilkan oleh kalender, akun otoritas, dan kegiatan

Kita tentu tahu kalau hari-hari penting seperti hari raya tahun baru Islam kemarin sudah ter-highlights di kalender fisik maupun digital. Fungsinya jelas, supaya orang-orang ingat dan tahu kalau pada tanggal yang berwarna merah itu adalah penanda untuk hari-hari penting. Dengan begitu, kalau pamflet dari ormek-ormek tujuannya untuk mengingatkan, maka dia blas nggak ada gunanya.

“Ya, kan, sekarang nggak semua mahasiswa rajin lihat kalender?”

Benar. Saya sendiri pun pelakunya. Namun, saya juga yakin kalau para mahasiswa yang aktif di sosial media itu sedikit banyak mengikuti akun-akun otoritas. Akun otoritas di sini maksudnya adalah akun sosial media yang mempunyai wewenang dan jaungkauan luas. Misalnya MUI, kemenag, kemendikbud dan tokoh publik. Bahkan, akun yang sebenarnya nggak punya wewenang tapi punya jangkauan yang luas seperti Mojokdotco pun turut mengingatkan.

“Ya, kan, nggak semua mahasiswa mengikuti akun-akun semacam itu?”

Walaupun terkesan mustahil, tapi okelah, saya mafhum. Namun, saya rasa juga tak kalah mustahilnya kalau kegiatan yang merayakan hari-hari penting itu nggak dianggap sebagai pengingat. Misalnya 1 Muharram kemarin ada doa bersama, pengajian, pawai, pesantren kilat, lomba dan kegiatan lainnya yang saya yakin pasti pengumumannya mengemuka di jagat digital.

Untuk bantahan yang lain, sementara saya nggak menemukan. Silakan bagi yang kesenggol, balas dengan kritik balik. Yang pasti, kalau tujuan pamflet ucapan “selamat hari raya” dari berbagai ormek itu untuk mengingatkan, maka nggak masuk akal kalau menganggap keberadaan kalender, akun otoritas, dan kegiatan yang merayakannya itu nggak mencukupi sebagai pengingat.

Lagipula, akunnya punya berapa pengikut, sih? Kok dengan pedenya memosting pamflet ucapan “selamat hari raya” yang seakan-akan bisa menjangkau khalayak luas. Paling-paling yang dijangkau ya anggota dan temannya sendiri, bukan?

Mahasiswa biasa juga bisa kalau sekadar bikin pamflet

Bagi yang kesinggung, saya sudah menduga kalau pikiran Anda kira-kira hendak mengatakan, “Walaupun kami nggak punya wewenang khusus dan jangkauan yang luas, tapi kami sebagai mahasiswa organisatoris punya moral yang menuntut untuk mengingatkan hari-hari penting kepada orang-orang, khususnya ke mahasiswa”.

Tentu saja saya tahu hal itu. Tapi, kalau moralnya sekadar mengucapkan lewat pamflet bahkan ‘mungkin’ cuma buat adu gengsi dengan ormek lain, maka mahasiswa biasa seperti saya juga bisa. Teknologi sudah canggih, tinggal cari template lalu tempel-tempel ornamen dan font, udah jadi itu pamflet. Nggak perlu repot-repot ikut organisasi.

Nggak ada bedanya sama para politikus ketika ada atlet yang berprestasi

Okelah, anggap saja saya salah. Mungkin, pamflet ucapan “selamat hari raya” dari ormek bukan sekadar mengingatkan, melainkan juga merayakan. Tapi, di sini juga janggal. Sebabnya apa betul dengan hanya membikin pamflet lantas bisa dikatakan merayakan?

Terus terang saja, saya nggak menemukan makna “merayakan” di balik pamflet yang isinya sekadar logo ormek dan tulisan “selamat hari raya”. Sependek pengetahuan saya, merayakan itu identik dengan kegiatan fisik. Kalau sekadar menuliskan kata “selamat hari raya” dan menempelkan logo ormek, rasa-rasanya itu nggak lebih dari sekadar pamer, doang.

Kalau begitu, kan, nggak ada bedanya sama politikus yang ketika ada atlet berprestasi, mereka mengucapkan “selamat” lewat pamflet dengan memasang foto diri lebih besar daripada atletnya. Eh, atau jangan-jangan memang itu tujuannya? Ah, semoga saya salah. Mahasiswa organisasi kan agent of change, nggak mungkin lah nerusin kebrobrokan politikus.

Mending bikin pamflet ajakan kegiatan untuk merayakannya

Biar nggak cuma mengkritik, ini saya ada solusi biar eksistensi ormek itu nggak sekadar melaksanakan moral remeh temeh. Coba deh, bikin pamflet ucapann selamat hari raya itu ditambah dengan ajakan untuk merayakannya. Entah itu doa bersama, lomba, ataupun paling minim budget dan tenaga seperti diskusi guna memahami kembali esensi hari-hari raya.

Saya pikir, dengan berbagai ajakan kegiatan alih-alih perayaan semacam itu lebih ada gunanya daripada cuma bikin orang lihat pamflet bertuliskan “selamat hari raya”, yang kadang kala nggak membuat orang jadi bahagia di hari raya, tapi malah risih karena memenuhi halaman sosial media.

Achmad Fauzan Syaikhoni
Manusia setengah matang, yang sedang fakir pengetahuan. Kalau mau menyumbang pengetahuan, bisa kirim lewat Instagram saya @zann_sy