Panggung-Panggung Adu Gagasan Capres Pra Kampanye Itu Berguna Enggak Sih?

CNBC Indonesia

Penulis:            Fauzan Ibn Hasby
Editor:             Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Menjelang kontestasi politik yang makin hari makin njelimet di Pemilu 2024 nanti. Nyaris sepanjang tahun 2023 isu Pilpresnya sudah menyeruak tak henti-henti.

Salah satu yang paling perlu menjadi sorotan lampu panggung publik justru adalah acara-acara 'Adu Gagasan' atau apalah itu namanya. Di mana di dalamnya, seluruh Capres yang 3 itu bicara soal gagasannya untuk memimpin Indonesia selama 5 tahun ke depan.

Tercatat, kurang lebih ada 4 acara yang digagas oleh berbagai kalangan untuk mengorek isi kepala 3 Capres di tahun 2023 ini. Dimulai dari media digital, kalangan start up, pekerja kreatif, hingga mahasiswa berbondong-bondong menggagasnya.

Jika ditanya apakah itu merupakan hal yang baik bagi sistem demokrasi di negeri ini. Semua orang punya kunci jawaban yang sama untuk hal itu. Sebab sebelumnya tak ditemukan hal-hal semacam ini.

Tapi di sisi lain, juga dapat ditemukan sedikit kerancuan yang agaknya sedikit disadari oleh banyak orang. Setuju atau tidak, acara yang menggelar hal itu terlalu banyak, sehingga terkesan terlalu berlebihan.

Dalam hal ini, penulis bukanlah seorang saudara dari salah satu Capres – apalagi anaknya, jelas bukan. Hanya yang jelas, kepentingan exposure agaknya sedikit bias dapat disuudzoni pada perkara ini.

Sebut saja BEM UI yang gaet Close The Door atau Mata Najwa yang bekerjasama dengan UGM untuk acara adu gagasan di lingkungan kampus. Ini bagus, tapi acara-acara lain di tempat dan media lain tak terelakan.

Ideafest yang digagas Ben Soebiakto pemilik perusahaan yang bergerak di dunia kreatif juga bikin acara yang serupa. Ketiga Capres didatangkan, dikemas dan dipertontonkan rutin hampir tiap bulan di 3 bulan terakhir menjelang kampanye.

Jauh sebelumnya, Narasi TV juga sudah mengorek semua apa yang ada dalam pikiran para Capres. Satu per satu.

Lagi-lagi tulisan ini tidak akan membahas keunggulan, manfaat atau kedigdayaan media digital yang sukses mengobrak-abrik isi pikiran Capres bahkan jauh sebelum mereka semua punya pasangan.

Tapi dalam hal ini, justru perlu untuk sedikit lebih dikulik apakah takarannya pas. Terlepas dari tujuan yang disebarkan untuk 'membuka pengetahuan masyarakat tentang gagasan dan program Capres', kegiatan ini punya sisi negatif.

Sebab jika ditanyai mengenai manfaat dari kegiatan tersebut, dapat diidentifikasi cukup banyak. Beberapa diantaranya seperti memberikan informasi kepada pemilih, momentum pertukaran ide, mengecek kemampuan leadership, bahkan transparansi dan akuntabilitas.

Selain itu, partisipasi pemilih juga dinilai akan meningkat mengingat kabarnya pada Pemilu 2024 mendatang didominasi oleh kalangan Milenial. (Mungkin itu alasannya 3 Capres itu mau-mau aja dateng ke semua acara yg isinya banyak anak-anak milenial).

Tapi paling tidak, hal yang berlebihan selalu tidak baik dalam ajaran kehidupan sehari-hari dan norma-norma yang telah lama tumbuh di tengah masyarakat.

Alih-alih memberikan perspektif baru soal pilihannya, untuk pemilih baru dan gak ngerti serta sedikit bumbu gak peduli politik, justru malah semakin kebingungan dengan terlalu banyaknya isi gagasan yang dikorek.

Bak wadah berisi air, Isu yang dianggap lebih penting bisa jadi lebih mudah kabur, sebab terlalu banyak dan meleber ke mana-mana.

Bahkan jika hal seperti ini malah semakin banyak, justru eksklusifitas dan substansial gagasan dan program Capres berpotensi menjadi sedikit kabur. Akibatnya, layaknya lulusan S1 yang makin hari makin banyak, degradasi nilai dan kualitas akhirnya bisa terjadi.

Tak hanya itu, debat Capres yang masih jauh di pandangan mata. Justru semakin tak menarik, karena terlalu banyak informasi yang telah keluar dan bahkan dikemas lebih transparan dalam acara di media digital.

Satu yang paling sedikit mengerikan. Setelah menonton bicara gagasan, beberapa akun Buzzer dari Capres A atau Capres B atau Capres C saling lempar video yang dicut kecil-kecil berisi yang menurut mereka sebagai 'blunder verbal'.

Jadi, alih-alih mencerdaskan bangsa justru bangsa yang memang belum cerdas ini malah lebih rentan dipecah belah – bahkan jauh sebelum peluit kampanye dibunyikan.

Namun, terlepas itu semua. Tulisan ini hanya refleksi kecil dari penulis yang merupakan representasi pemilih dengan kualitas SDM rendah nan ndlogok. Jadi kalo kebanyakan makan informasi, bukannya nambah gizi, tapi malah kelimpungan gak ngerti.

Fauzan Ibn Hasby

Pengen jadi Luhut Binsar Pandjaitan!