Udah Blunder Malah Nyebelin

Andrea Piacquadio on Pexels

Penulis:            Fatimatur Rosyidah
Editor:             Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Bulan lalu, saya dibuat kesal oleh sebuah komentar panjang lebar pada postingan grup yang saya buat. Kebetulan, postingan itu membahas perihal pelurusan hukum fiqih poligami. Pasalnya, beberapa waktu sebelumnya, banyak berseliweran tulisan yang intinya menganggap poligami sebagai amalan sunnah berpahala. Padahal, kan, poligami hanyalah amalan sunnah yang dilakukan Nabi, tapi hanya mubah alias boleh saja dilakukan umatnya dengan syarat dan ketentuan yang tidak mudah.

Komentar yang mendarat pada postingan saya itu terkesan berputar-putar dan hanya berpijak pada kebaperan semata. Ada 9 poin yang disampaikan dan kesemuanya sangat-sangat tak berdasar.

Berikut komentar-komentarnya:

"Banyak manusia bilang, poligami mengambil hak istri tua. Ralat: Dalam poligami, suami mengambil/memanfaatkan kuota/haknya sendiri, istri ke 2, 3, dan 4 juga memanfaatkan haknya sendiri pula. Istri pertama jika menghalangi, mencegah suami atau istri 2, 3 dan 4 itulah orang yg menghalangi hak 4 orang tersebut."

Tak perlu dijelaskan lagi, kan, kalau opini semacam itu sangat lemah dan tak berdasar. Kuota istri? Istilah apa lagi itu?

Sebelum menjawab, saya memeriksa profil dan postingan yang bersangkutan. Benar saja, isinya adalah hal-hal yang terkesan agamis tapi cukup ekstrim. Bahkan, sebagian merupakan postingan dengan argumentasi lemah, sama lemahnya dengan komentarnya di postingan saya.

Ya ampun … seketika saya disergap dilema. Nggak dijawab sungguh sesat, tapi dijawab pasti menghabiskan banyak energi. Orang sejenis ini, rata-rata ngeyel dan berujung blunder.

Dan demi kesehatan mental, akhirnya saya cuekin dulu. Saya berusaha menenangkan diri demi menjawabnya dengan sebaik-baiknya jawaban. Ternyata, saya nggak perlu mengotori tangan sendiri, hanya dalam hitungan menit, komentator itu sudah diserang emak-emak dengan sangat dahsyat.

Meskipun serangan ibu-ibu itu kebanyakan 11-12 dengan sang komentator, yaitu argumentasi berlandas kebaperan, tapi saya berusaha untuk nggak lagi menghiraukan. Dan benar saja, reaksi sang komentator memang sangat ngeyel. Dia berusaha mempertahankan argumentasinya meskipun dengan pembelaan yang terkesan berputar-putar dan blunder.


Nah, singkat cerita, beberapa waktu lalu, ada kejadian dengan pola serupa yang seketika mengingatkan saya pada kejadian argumentasi aneh komentator tersebut. Kejadiannya sama sekali berbeda, tapi polanya sangat persis yaitu menyampaikan argumentasi berputar-putar yang tak ada ujungnya. Kebetulan, kejadiannya adalah indikasi kecurangan oleh juri pada lomba menulis. Pemenang sudah sangat jelas sekali melanggar syarat dan ketentuan lomba, tapi malah tetap dimenangkan.

Nah, karena kegaduhan itu, saya sempat menyeletuk kepada teman saya ketika mengobrol di Whatsapp, "Aku sejak dulu males sama golongan itu. Mereka itu terlalu money oriented. Selain money oriented, mereka juga selangkangan oriented. Wkwkwk …"

Saya baru menyadari ketikan saya beberapa saat setelahnya. Saya menulis "golongan itu" dengan pikiran yang merujuk pada beberapa tokoh yang bahkan nggak ada hubungannya dengan lomba tersebut.

Saya berpikir beberapa saat, bagaimana bisa saya menggolongkan mereka?

Akhirnya, saya menemukan jawabannya. Saya menyebut golongan ini sebagai 'Golongan Manusia Blunder yang Nyebelin'.

Bagaimana saya nggak menganggap mereka satu golongan jika dalam setiap kegiatan, kesemua tokoh-tokohnya saling bergotong-royong menjadi panitia. Selain itu, yang paling menonjol dari mereka adalah kelihaian untuk memakai tameng agama dalam setiap tingkah lakunya.

Demi obyektifitas, saya kembali berpikir lagi. Dan pada akhirnya bisa menemukan beberapa ciri yang ada pada mereka.

Di antaranya adalah:

Sering memakai hadits dhaif (lemah) bahkan palsu untuk memperkuat argumentasinya.

Sering melemparkan argumentasi dengan narasi yang berputar-putar. Sungguh, ini akan sangat menyesatkan bagi orang awam dan melelahkan bagi orang yang tahu ilmunya. Karena, mereka akan ngeyel terus.

Menunggangi agama. Seringnya membuat kelas atau seminar-seminar atas nama agama, padahal sejatinya hanya bisnis semata.

Tak jarang menyebar hoax dengan memakai embel-embel agama.

Saya sempat berpikir kembali, apakah golongan ini berkorelasi dengan ormas tertentu? Jujur saja, setelah saya amati, sebagian besar dari mereka memang merupakan anggota ormas tertentu. Tapi, sampai saat ini, saya belum bisa benar-benar memastikan apakah sikap semacam itu memang menjadi ajaran ormas tersebut.

Hanya saja satu yang pasti, orang semacam ini sangat berbahaya. Mereka bisa melakukan apa saja demi mempertahankan diri. Dan parahnya, mereka sulit disadarkan karena merasa sudah sesuai dengan ajaran agama. Bahkan, ketika argumentasi lawan sudah sangat kuat.

Saya sempat bertanya-tanya, apakah mereka memang sengaja melakukannya atau karena tak sadar? Entahlah, saya belum menemukan jawaban pasti. Hanya saja, saya pernah mendengar sebuah perkataan dari orang sejenis ini. Perkataan yang sungguh membuat saya kembali geleng-geleng karena miris.

Bahkan mereka berkata, "Demi agama, kita boleh melakukan apa pun. Bahkan, berpura-pura sebagai bagian dari golongan lain. Itu adalah jihad."

Ya ampun … saya sudah nggak mampu berkata-kata lagi perihal itu. Hanya satu yang pasti, semoga ada saja yang mendapat kesadaran untuk berbenah. Karena, orang semacam ini, sangat nyebelin dan bikin capek.

    Fatimatur Rosyidah

    Santri dan ibu empat anak yang hobi membaca serta menulis fiksi           dan non fiksi. Suka mengamati kehidupan dan merenungkannya.